cinta...cinta...bahasa Indonesia
PERIBAHASA DENGAN METAFORA
BINATANG
SEBAGAI SARANA PENGAJARAN BAHASA INDONESIA
Susanti, M.Hum.
Abstract
This paper explain about proverb with animal metaphor as a teaching medium of Indonesian language. Proverb has been used as a
teaching medium of Indonesian language with goals to informed supreme values culture. Animal
metaphor was used because animal life easier to describe human life. Proverb
with the animal metaphor explain
positive and negative connotation. It so happens, the proverb function has been
expressed praise, admiration, anger, anguish, and teasing. Proverb has been as
a teaching medium of Indonesian Language with goals
to produce active and passive heir of
culture.
Kata kunci: peribahasa, metafora
I. Pendahuluan
Peribahasa merupakan ungkapan lama yang sering digunakan untuk menyebut
atau membicarakan seseorang atau sesuatu secara tidak langsung. Penyebutan
tidak langsung ini karena masyarakat Melayu yang merupakan akar bahasa
Indonesia merupakan masyarakat simbolik.
Dalam peribahasa masyarakat mengungkapkan
pikiran dan perasaan kolektifnya secara kreatif dan menjelaskan ide-ide atau
gagasan-gagasan kolektifnya secara meyakinkan. Peribahasa termasuk dalam genre
sastra Melayu klasik. Nilai-nilai yang
terkandung dalam peribahasa selalu relevan dari masa ke masa. Hingga
sekarang ini masyarakat Melayu masih mempergunakan peribahasa sebagai sarana retorika untuk mengungkapkan:
1) pujian; 2) kekaguman; 3) sesuatu yang tidak terpisahkan; 4) kemarahan; 5)
celaan; 6) keputusasaan, kesedihan, atau kekecewaan; dan 7) sindiran. Sehubungan
dengan itu maka setiap anggota masyarakat di lingkungan masyarakat Melayu,
tanpa kecuali, dituntut untuk mempelajari hakikat keberadaan peribahasa ,
meliputi karakteristik bentuk, makna ungkapan, fungsi sosial, dan nilai-nilai
luhur yang terkandung di dalamnya.
Peribahasa
harus diperkenalkan sejak dini kepada generasi muda masyarakat Melayu.
Proses pengenalannya yang digagas dalam tulisan ini adalah melalui jalur
pengajaran Bahasa Indonesia. Tujuannya agar mereka minimal menjadi
pewaris pasif, bahkan jika memungkinkan menjadi
pewaris aktif atas peribahasa . Pewaris pasif adalah pewaris yang sekadar
mengetahui dan menikmati namun tidak berminat menyebarkan. Adapun pewaris aktif
adalah orang yang dapat menghafal sekumpulan peribahasa dan menyebarkannya.
II. Kriteria
Peribahasa yang Layak Diajarkan
Tidak semua peribahasa dapat diajarkan kepada peserta didik di
lembaga sekolah dasar. Halimatussa’diyah (2002:33) berpendapat peribahasa dimaksud harus memenuhi kriteria-kriteria
sebagai berikut:
1. Kalimatnya lengkap dengan kosa-kata relatif
mudah dipahami oleh anak-anak usia sekolah dasar
2. Bentuk fisinya bersifat tetap, tidak mudah
berubah dari waktu ke waktu, bersifat klise dan klasik (mempunyai vitalitas
tradisional), dan
3. Mengandung nilai-nilai budaya luhur yang
menjunjung tinggi kebenaran dan kebijaksanaan, sehingga bisa dijadikan sebagai
media pendidikan yang bersifat instruktif, imperatif, dan preventif.
Menurut Halimatussa’diyah (2002:33-34) butir-butir
budaya luhur dimaksud antara lain: 1) Tidak
suka berpura-pura (bersikap hipokrit atau munafik); 2) Selalu bersikap
hati-hati dan teliti; 3) Tidak suka berbuat onar; 4) Pandai menyesuaikan diri
dengan lingkungan tempatnya berada; 5) Selalu bersikap hemat; 6) Tidak suka
menyombongkan diri; 7) Selalu bersikap ulet dan rajin; 8) Pandai dalam
mengelola harta kekayaan miliknya; 9) Tidak suka membebani atau mempersulit
orang lain; 10) Selalu menaati ketentuan yang berlaku; 11) Tidak bersikap
picik; 12) Tidak bersikap egois; 13) Tidak suka memperalat orang lain untuk
kepentingan diri sendiri; 14) Pandai
membalas budi baik orang lain yang telah berjasa kepadanya.
Metode pengajaran peribahasa dalam bahasa Indonesia melalui pendekatan metafora binatang. Pendekatan ini dipilih
untuk merangsang timbulnya minat mempelajari peribahasa di kalangan peserta
didik yang dijadikan sasaran pengajarannya.
III. Peribahasa
Menurut Alan Dundes, peribahasa atau
ungkapan tradisional sukar sekali untuk didefinisikan, bahkan menurut Archer
Tyalor peribahasa tidak mungkin diberi definisi. Namun pendapatr ini mendapat
sanggahan dari Dundes, karena menurutnya walaupun sukar orang dituntut untuk
dapat melakukannya. Salah satu cara yang dikemukakan oleh Dundes yaitu dengan
mempergunakan ungkapan tradisional untuk menerangkan peribahasa.
Konsep
peribahasa juga dikemukakan oleh Cerventes yang mengungkapkan definisinya yaitu
peribahasa adalah kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman panjang. Adapun
Bertrand Russel menganggapnya sebagai kebijakan orang banyak yang berawal dari
kecerdasan seseorang. Dari tiga ahli tersebut dapat dipahami bahwa peribahasa
merupakan ungkapan tradisional dari komunitas masyarakat tertentu sebagai
bentuk dari manifestasi kebijakan dan kecerdasan masyarakat yang diperoleh
melalui pengalaman panjang.
Peribahasa
yang merupakan ungkapan tradisional sebagaimana yang dikemukakan oleh Dananjaja
(1991; 28) mempunyai tiga sifat hakiki yang perlu diperhatikan oleh mereka yang
meneliti yaitu a. Peribahasa harus merupakan satu kalimat ungkapan, tidak cukup
hanya satu kata tradisional saja; b. Peribahasa ada dalam bentuk yang sudah
standar dan c. Suatu peribahasa harus mempunyai vitalitas (daya hidup) tradisi
lisan, yang dapat dibedakan dari bentuk-bentuk klise tulisan yang berbentuk
syair, iklan, reportase dan sebagainya. (Brunvand, 1968; 38).
Peribahasa
dapat dibagi menjadi empat golongan besar, yakni : (a) peribahasa yang
sesungguhnya (true proverb); (b) pribahasa yang tidak lengkap kalimatnya
(proverbial pharase); (c) peribahasa perumpamaan (proverbial
comparison); dan (d) ungkapan-ungkapan yang mirip dengan peribahasa
(Brunvand, 1968; 40).
Jika
dilihat dari fungsinya peribahasa, seperti juga folklor lisan pada umumnya,
yakni sebagai sistem proyeksi, sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan
lembaga kebudayaan, sebagai alat pendidikan anak, dan sebagai alat pemaksa dan
pengawas norma-norma masyarakat agar selalu dipatuhi (Bascom, 1965a ; 279-298).
Selanjutnya seperti bahasa lisan pada umumnya, peribahasa juga sebagai alat
komunikasi, terutama dalam hal pengendalian masyarakat (social control), yang
secara konkret untuk mengkritik seseorang yang telah melanggar norma
masyarakat. Mencela seseorang dengan menggunakan peribahasa lebih mudah
diterima dan lebih kena sasarannya daripada dengan celaan langsung.
IV. Definisi Metafora
Secara etimologis istilah metafora berasal dari
bahasa Yunani meta dan pherein artinya memindahkan. Meta
artinya di atas atau melebihi, dan pherien artinya membawa (Tarigan,
1985:15). Menurut Wahab (1990:142), metafora sudah menjadi bahan studi sejak
zaman kuno. Konsep metafora pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles
(Murtadho, 1997:70), ketika itu metafora didefinisikan sebagai ungkapan
kebahasaan untuk menyatakan suatu nama dengan nama yang lain. Suatu cara
subsitusi hal yang umum bagi hal yang khusus, hal yang khusus bagi hal yang
umum, hal yang khusus bagi hal yang khusus, atau dengan analogi.
Poerwadarminta (1976:648) sebagaimana yang
dikutipkan Tarigan (1985:15) merumuskan metafora sebagai pemakaian kata-kata
bukan dalam arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan berdasarkan
persamaan atau perbandingan. Moeliono (1984:3) sebagaimana yang dikutipkan
Tarigan (1985:15) merumuskan metafora sebagai perbandingan implisit untuk dua
hal yang berbeda tanpa mempergunakan ungkapan pembanding sebagai dan seperti.
Metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan
yang paling padat, singkat, dan tersusun rapi, di dalamnya terdapat dua
gagasan. Gagasan pertama berupa kenyataan, sesuatu yang menjadi objek, atau
sesuatu yang dipikirkan. Sementara gagasan kedua berupa pembanding, dan
menggantikan gagasan yang ke dua dengan gagasan yang pertama (Tarigan,
1985:15).
Badudu (1981), merumuskan metafora sebagai gaya
bahasa yang membandingkan sesuatu benda dengan benda yang lainnya. Keraf
(1987), merumuskan metafora sebagai sebuah analogi yang membandingkan dua hal
secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Wahab (1990:142), merumuskan
metafora sebagai ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara
langsung dari lambang yang dipakainya, karena makna yang dimaksudkannya
terdapat pada prediksi ungkapan kebahasaan itu sendiri. Dengan kata lain,
metafora adalah pemahaman dan pengalaman akan sejenis hal yang dimaksudkan
dengan perihal lain.
Quintilian (via Wahab, 1986:5 via Murtadho,
1997:70) merumuskan metafora sebagai ungkapan kebahasaan yang dipergunakan
untuk mengungkapkan sesuatu yang hidup bagi sesuatu yang hidup lainnya, sesuatu
yang hidup bagi sesuatu yang mati, dan sesuatu yang mati untuk sesuatu yang
mati lainnya.
V. Jenis-jenis Metafora
Menurut Murtadho (1997:71), metafora terdiri atas dua
jenis, yakni metafora dalam arti sempit, dan metafora dalam arti luas. Metafora
dalam arti sempit adalah bentuk kiasan khusus di antara bentuk-bentuk kiasan
lainnya, seperti : metonimi, sinekdoke, dan hiperbola. Sementara metafora dalam
arti luas mencakup semua bentuk majas perbandingan (perumpamaan, kiasan,
personifikasi), majas pertentangan (hiperbola, litotes, dan ironi), dan majas
pertautan (metonimia, sinekdoke, alusi, dan eufisme).
Masih menurut Murtadho (1997:71), berkaitan dengan
metafora ini ada 2 hal yang perlu diperhatikan, yakni kriteria penggantian dan
kriteria kesamaan. Kriteria penggantian berlaku untuk metafora dalam arti luas,
dalam konteks ini tanda linguistik yang
lazim dapat saja digantikan dengan tanda linguistik yang tidak lazim.
Kriteria kesamaan berlaku untuk metafora dalam arti sempit.
Dasar pembentukan metafora menurut rumusan Ullmann
(1972:213), adalah perbandingan, persamaan, atau pengidentifikasian antara dua
referen yang memiliki keserupaan atau kemiripan satu sama lainnya. Dua referen
yang dimaksudkan Ullmann disebutnya tenor dan wahana. Tenor merujuk kepada
“barang yang sedang kita perbincangkan”
(the thing we are talking about), sementara wahana merujuk kepada
“barang lain yang kita perbincangkan dengannya” (that to which we are comparing
if) (Subroto, 1989:47).
Metafora menurut pendapat Subroto (1989:45)
merupakan salah satu wujud bahasa yang diciptakan oleh daya kreatif manusia
dalam penerapan makna bahasa. Melalui kreatifitas berbahasa yang ada padanya,
manusia memberikan makna lambang yang baru kepada kata-kata (referen) yang
telah ada. Hal ini terjadi karena jumlah
lambang masih sangat terbatas sementara benda-benda yang ada di sekeliling
manusia tidak terbatas jumlahnya.
Kridalaksana (1993:136), merumuskan bahwa metafora
adalah pemakaian kata lain atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain
berdasarkan kias atau persamaan. Contoh kongkrit yang dikemukakannya adalah
kaki gunung, kaki meja, pada kaki manusia. Moeliono (1997:651), merumuskan
bahwa metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata yang bukan dengan arti
sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau
perbandingan. Contoh kongkrit yang dikemukakannya adalah pemuda adalah tulang
punggung negara. Metafora terbagi menjadi 4 jenis, yakni: (1) metafora
antropomorfis, (2) metafora binatang, (3) metafora sinestetik, dan (4) metafora
yang timbul karena pemindahan pengalaman dari kongkrit ke abstrak atau
sebaliknya (penulis lebih suka menyebutnya metafora jenis ke empat).
VI. Klasifikasi Genre Metafora Binatang
Istilah
metafora binatang yang dipergunakan dalam tulisan ini merujuk kepada gambaran
bentuk fisik dan tingkah laku binatang yang dimanfaatkan sebagai bahan perbandingan
untuk menggambarkan bentuk fisik dan tingkah laku manusia. Ada dua jenis
metafora binatang, yakni metafora binatang yang bersifat positif (metafora
positif), dan metafora binatang yang bersifat negatif (metafora negatif).
Metafora positif adalah metafora binatang yang
secara stilistika atau secara konotatif langsung merujuk kepada makna yang
positif. Tidak hanya itu, peribahasa
yang mengandung metafora binatang bermakna positif ini juga identik
dengan fungsi-fungsi positif, antara lain: 1) sebagai sarana retorika untuk
memuji; 2) sebagai sarana retorika untuk
menyatakan kekaguman; dan 3) sebagai sarana retorika untuk menyatakan sesuatu
yang tidak terpisahkan. Adapun yang dimaksud dengan metafora negatif adalah
metafora binatang yang secara stilistika atau secara konotatif langsung merujuk
kepada makna yang negatif. Tidak hanya itu, peribahasa binatang bermakna
negatif ini juga identik dengan fungsi-fungsi negatif, yakni; 1) sebagai sarana
retorika untuk mengungkapkan kemarahan; 2) sebagai sarana retorika untuk
mencela; 3) sebagai sarana untuk mengungkapkan keputus-asaan, kesedihan, atau
kekecewaan; dan 4) sebagai sarana retorika untuk menyindir.
VII. Keberadaan Metafora Binatang dalam
Peribahasa
Peribahasa merupakan genre/jenis folklor yang kaya dengan metafora, karena
peribahasa merupakan rangkaian kata
(kalimat) yang ditata dengan tendensi makna konotatif dan makna stilistika
tertentu. Penyebabnya ada dua, yakni: 1) di dalam peribahasa , dunia nyata dan
dunia kias saling bercampur baur menjadi satu; dan 2) fungsi sosial
peribahasa sama dengan fungsi metafora,
yakni sebagai sarana untuk mengatakan suatu hal (dunia nyata) dengan rangkaian
kata yang bermakna implisit (dunia kias).
Metafora dibuat atau diciptakan manusia sebagai
hasil olah pikir dan olah rasanya yang kreatif, sehingga dapat dikatakan bahwa
kekayaan metafora yang dimiliki oleh suatu suku bangsa identik dengan tingkat
kecerdasan linguistik suku bangsa itu sendiri. Semakin kaya khasanah
metaforanya berarti semakin tinggi pula tingkat kecerdasan linguistiknya.
Sumber ilham yang menjadi dasar pembuatan atau
penciptaan metafora oleh manusia tidak lain adalah alam lingkungan tempat
tinggalnya. Manusia memang tidak dapat melepaskan dirinya dari pengaruh alam
lingkungan tempat tinggalnya. Tidak terkecuali dalam hal pembuatan atau
penciptaan metafora. Interaksi manusia dengan sesamanya, dengan benda-benda di
sekitarnya, dan dengan flora atau fauna yang ada di alam lingkungan tempat
tinggalnya, tercermin dalam metafora yang dibuat atau diciptakannya.
Keberadaan metafora binatang dalam khasanah
peribahasa , tak pelak lagi diciptakan berdasarkan sumber ilham yang berasal
dari penghayatan kontemplatif penggubahnya atas alam lingkungan di sekitar tempat
tinggalnya, baik yang bersifat fisik, maupun yang bersifat sosial.
VIII. Contoh-Contoh Peribahasa
Contoh
peribahasa yang mempergunakan metafora
binatang sangatlah banyak jumlahnya. Pada kesempatan ini dikutipkan
peribahasa yang mempergunakan metafora ikan, burung,
dan kucing.
(1) Ikan
belum dapat, airnya sudah keruh
Peribahasa tersebut bermakna penerapan pekerjaan yang tidak
tepat atau keadaan menjadi buruk sebelum pekerjaan selesai.
(2) Ikan di
laut, asam di gunung bertemu dalam belanga
Peribahasa
di atas merupakan ungkapan untuk menggambarkan seseorang
yang tinggal di sebuah daerah yang
jauh misalnya pegunungan dapat berjodoh dengan orang yang berada jauh dari
kampungnya atau kota.
(3) Ikan lagi di laut, lada garam sudah
di sengkalan
Peribahasa
ini merupakan olok-olok untuk mencela seseorang yang bersiap-siap ingin mengecap hasil pekerjaan yang
belum pasti berhasil.
(4) Memancing
ikan dalam belanga
Peribahasa
ini merupakan ungkapan yang ditujukan kepada seseorang yang mencari keuntungan dalam lingkungannya sendiri.
(5) Seperti ikan kena tuba
Peribahasa di atas merupakan keyakinan bahwa sesuatu yang jinak mudah
ditangkap.
(6) Tuba binasa, ikan tak dapat
Peribahasa di atas merupakan olok-olok untuk mencemooh
seseorang yang melakukan pekerjaan
yang sia-sia.
(7)
Ikan bergantung, kucing tunggu
Peribahasa di
atas merupakan olok-olok untuk mencemooh seorang yang mengharapkan sesuatu yang
mustahil didapat, ia kesal karena tidak bisa mendapatkan sesuatu yang sudah di
depan mata.
(8) Ada air ada ikan
Peribahasa
ini merupakan ungkapan yang
menyatakan bahwa di mana pun seseorang hidup dan berusaha maka ia akan mendapat
rejeki.
(9) Ikan kecil makanan ikan besar
Peribahasa
di atas merupakan ungkapan untuk menggambarkan bahwa orang kecil atau masyarakat jelata sering
menjadi korban kepentingan dan kebijakan para pemimpin dan pejabat.
(10) Terpegang ikan, amis tangan
Peribahasa
di atas merupakan ungkapan untuk menggambarkan perbuatan seseorang yang mencemarkan nama baiknya
sendiri.
(11) Kuat ikan
karena radai, kuat burung karena sayap
Peribahasa ini merupakan ungkapan setiap orang memiliki kelebihan masing-masing
sehingga kita harus saling menghargai.
(12) Bagaikan burung dalam sangkar
Peribahasa di atas ini merupakan gambaran seseorang yang kehilangan hak asasinya
sebagai manusia berupa kebebasan.
(13) Burung gagak itu kalau dimandikan dengan air mawar
sekalipun, tidak akan menjadi putih bulunya.
Peribahasa di atas merupakan ungkapan untuk menyebut
seseorang yang bertabiat jahat akan
sukar untuk diperbaiki.
(14) Dengarkan cerita burung, anak dipangku dilepaskan
Peribahasa di atas merupakan ungkapan perasaan seseorang
yang sibuk mengurusi persoalan orang
lain, tetapi urusannya sendiri terbengkalai.
(15) Harapkan
burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan
Peribahasa di atas merupakan olok-olok untuk mencemooh
seseorang yang mengharapkan
keuntungan yang belum pasti, sedangkan keuntungan kecil yang sudah pasti
didapat dilepaskan.
(16) Ibarat
burung dalam sangkar, mata lepas badang terkurung
Peribahasa ini merupakan keadaan seseorang yang berada dalam pengawasan, walaupun terpelihara dengan
baik, tetapi selalu terikat atau tidak bebas.
(17) Seperti anjing dan kucing
Peribahasa ini merupakan olok-olok untuk dua seorang yang selalu bermusuhan
atau tidak pernah berdamai.
(18) Bagai kucing dibawakan lidi
Peribahasa ini merupakan gambaran tentang seseorang yang telah berbuat salah akan takut menghadapi
orang lain.
(19) Membeli kucing dalam karung
Peribahasa ini merupakan gambaran tentang seseorang yang telah membeli seseuatu namun kurang
diteliti atau diperiksa dulu keadaan barangnya, sehingga ketika telah sampai ke
rumah ia kecewa.
(20) Biarpun kucing naik haji,
pulangnya mengeong juga.
Peribahasa ini merupakan gambaran tentang seseorang yang tidak berubah tabiatnya meskipun telah
pergi jauh mendapatkan pengajaran yang baik.
(21) Memukul kucing di dapur
Peribahasa ini merupakan gambaran tentang seseorang yang telah mencelakakan anak kandungnya sendiri.
(22) Bagai kucing bermain daun
Peribahasa ini merupakan gambaran tentang seseorang yang ingin menunjukkan kelebihannya sendiri
dihadapan orang lain.
(23) Duduk seperti kucing melompat
seperti harimau
Peribahasa ini merupakan gambaran tentang seseorang yang pendiam namun dapat dengan mudah
mencelakakan orang lain.
(24) Seperti kucing terkena balur
Peribahasa ini merupakan gambaran tentang seorang pemuda yang pemalu sehingga ia kesulitan mendekati
seorang gadis.
IX. Kesimpulan
Peribahasa yang direkomendasikan untuk diajarkan dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi dua klasifikasi, yakni: 1)
peribahasa dengan metafora bintang
berkonotasi positif; 2) peribahasa
dengan metafora binatang berkonotasi negatif
Peribahasa
dengan metafora binatang berkonotasi positif, yakni peribahasa yang secara stilistika atau secara konotatif
langsung merujuk kepada makna yang positif. Tidak hanya itu, peribahasa yang mengandung metafora binatang bermakna
positif ini juga identik dengan fungsi-fungsi positif, antara lain sebagai
sarana retorika untuk mengungkapkan: 1) pujian; 2) kekaguman; dan 3) sesuatu
yang tidak terpisahkan.
Sementara itu peribahasa dengan metafora binatang berkonotasi negatif,
yakni peribahasa yang secara stilistika
atau secara konotatif langsung merujuk kepada makna yang negatif. Tidak hanya
itu, peribahasa binatang bermakna negatif ini juga identik dengan fungsi-fungsi
negatif, yakni sebagai sarana retorika untuk mengungkapkan: 1) kemarahan; 2)
celaan; 3) keputusasaan, kesedihan, kekecewaan, dan (4) sindiran.
Peribahasa merupakan kekayaan budaya milik bersama yang
paling nyata bagi masyarakat Melayu. Meskipun hanya berupa kata-kata berbentuk
puisi atau kalimat, peribahasa dapat
menjadi ciri budaya yang dapat mempersatukan masyarakat Melayu dalam suatu
ikatan memori kolektif.
DAFTAR RUJUKAN
Aminuddin,. 1988. Semantik
Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: PT Sinar Baru. Cetakan I.
Brunvand, Jan Harold. 1978. The
Studi of American Folklor-an Introduction. New York: W.W Norton & Co.
Inc.
Chaer, Abdul. 1996. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti.
Ganie, Tajuddin
Noor. 2005. ”Karakteristik Paribasa: Kajian Bentuk, Fungsi, Makna dan Nilai”
Banjarmasin: PBSID FKIP Unlam. (tesis).
Hidayat, Kidh dan M. Burhan. 2004. Kamus Lengkap Peribahasa Indonesia.
Jakarta: Bintang Indonesia
Muhibah, 2004. ”Pemanfaatan Metafora
Tumbuhan dan Binatang dalam Ungkapan Bahasa ”. Banjarmasin: STKIP PGRI. (skripsi)
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik
Leksikal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sufriadi, 2007. ”Pemanfaatan Metafora
Binatang dalam Peribahasa ” masin: STKIP PGRI. (skripsi)
Wahab, Abdul.
1990. ”Metafora Sebagai Alat Pelacak Sistem Ekologi” dalam PELLBA 3. Peny:
Purwo, Bambang Kaswanti. Jakarta: Kanisius dan Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.