Kamis, 28 Februari 2013
Rabu, 27 Februari 2013
esai
bahasa, sastra, tokoh terkenal, hobi, kewajiban
Makna
Pendidikan Bagi Perempuan
Oleh
: Susanti, S.S.,M.Hum*
Pada masyarakat yang sedang berada dalam proses
penguatan modernisasi, seperti Indonesia,
pendidikan menjadi salah satu syarat yang strategis. Hal ini didasarkan pada
asumsi dasar bahwa pendidikan merupakan kegiatan transfer of knowledge untuk peningkatan kapasistas dan
kualitas human resource tanpa kecuali. Untuk itu dunia
pendidikan tentunya harus terbebas dari persoalan ketidakadilan dan
diskriminasi. Artinya setiap anak bangsa memiliki hak dan kesempatan yang sama
dan seluas-luasnya untuk menikmati pendidikan.
Kasus 3.432 siswa Kalimantan Selatan
yang putus sekolah, ini tentu mengagetkan masyarakat yang peduli dengan
pendidikan. Apalagi siswa yang berhenti sebagaimana yang diberitakan oleh Harian
Banjarmasin Post, tanggal 22 Februari 2011 adalah siswa perempuan. Adanya anggapan orang tua bahwa
anak perempuan tidak perlu menuntut ilmu tinggi-tinggi ini adalah permasalahan
mendasar yang dihadapi oleh dunia pendidikan. Situasi seperti ini tentu ambivalen
dengan apa yang sedang diperjuangkan oleh pemerintah provinsi Kalimantan
Selatan terhadap pendidikan.
Dalam peradaban yang sudah masuk era digitalisasi,
pendidikan masih berhadapan dengan persoalan sosial kultural yang memahami pendidikan hanya milik kaum laki-laki, kalau
pemahaman seperti ini terus dipelihara masyarakat, maka ini tidak menguntungkan
bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan. Masyarakat Indonesia secara budaya sebagian
besar daerah masih menganut budaya patriarki, akan tetapi ini tidak serta merta
mengesahkan
bahwa perempuan hanya pantas berada di wilayah domestik yakni rumah tangga.
Seorang tokoh
pejuang feminis yaitu Chafetz (1988) mengungkapkan bahwa ada empat hal yang
menyebabkan terjadinya ketimpangan antara perempuan dan laki-laki, pertama adalah bahwa posisi dan
pengalaman perempuan dari kebanyakan situasi berbeda dari yang dialami
laki-laki dalam situasi itu. Kedua,
posisi perempuan dalam kebanyakan situasi tak hanya berbeda, tetapi juga kurang
menguntungkan dan tidak setara dibandingkan dengan laki-laki. Ketiga adalah bahwa situasi perempuan
harus pula dipahami dilihat dari sudut hubungan kekuasaan langsung antara
laki-laki dan perempuan. Perempuan “ditindas” dalam arti dikekang,
disubordinatkan, dibentuk, digunakan dan disalahgunakan oleh lelaki. Keempat, perempuan mengalami perbedaan, ketimpangan dan berbagai
penindasan berdasarkan posisi total mereka dalam susunan stratifikasi atau faktor penindasan dan hak
istimewa-kelas, ras, etnisitas, umur, status perkawinan dan posisi global.
Empat posisi
tersebut di atas sangat jelas menunjukan bahwa dalam setiap berbagai media
interaksi formal, perempuan seringkali mengalami apa yang disebut sebagai
ketidakadilan. Adanya pandangan yang berat sebelah ini cenderung merugikan
pihak perempuan. Hal seperti ini tidak terkecuali dalam dunia pendidikan,
struktur institusi keluarga yang bersikukuh dengan pandangan bahwa perempuan hanya pantas berada dalam
wilayah rumah tangga ini menunjukan bahwa kesan pendidikan hanyalah milik
laki-laki. Struktur keluarga telah membangun makna pendidikan hanya sebagai sektor utama laki-laki. Jadi, bukanlah sesuatu yang
mengherankan bila banyak kalangan orang tua lebih banyak memberi ruang pendidikan kepada
anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan.
Pemaknaan
pendidikan yang kurang menguntungkan bagi perempuan ini menuntut adanya
perhatian khusus yang lebih serius dari kaum perempuan sendiri. Salah satu
agenda pertama strategis adalah
membangun pemaknaan yang positif yaitu dengan jalan pembuktian bahwa perempuan
ternyata juga memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki. Artinya
perempuan dituntut untuk menunjukan prestasi yang nyata, untuk sekolah tentu
saja terkait dengan prestasi akademis dan untuk sektor publik tentunya terkait dengan
prestasi kerja.
Kedua, perlunya usaha-usaha penyadaran
masyarakat yang masih memiliki anggapan bahwa perempuan hanya pantas berada
dalam wilayah rumah tangga secara terus menerus. Penyadaran ini dapat dilakukan
oleh semua komponen stakeholder melalui berbagai agenda yang dapat meningkatkan
citra bagi perempuan. Misalnya memberikan penghargaan kepada para siswa
perempuan yang memiliki prestasi. Hal seperti ini perlu dilakukan baik oleh
sekolah maupun oleh komponen masyarakat yang peduli dengan permasalahan
pendidikan perempuan.
Makna
pendidikan bagi perempuan adalah makna kesetaraan dan bukan makna yang
diskriminatif, apalagi berlindung dibalik alasan budaya. Melalui pendidikan perempuan dapat meningkatkan
kualitas hidup mereka, baik sebagai individu, anggota keluarga, maupun anggota
masyarakat. Dengan kondisi yang demikian, perempuan tidak akan menjadi golongan
marjinal dalam dunia pendidikan.
* Guru SMA Banua BBS Kalsel
Langganan:
Postingan (Atom)