PEMBELAJARAN CERPEN
A. Membuat Kerangka Cerpen
Nilai
moral : berbakti pada orang tua,
rendah hati
Tema : Menghindari kesombongan setelah
sering menjuarai berbagai lomba
Sudut
pandang : Orang ketiga
serbatahu
Tokoh : Kak Musa, Dek Kia, Bunda
Penokohan : Kak Musa =
baik, pintar, sabar
Dek Kia =
pintar, ceria, usil
Bunda =
sabar, bijak
B. Membuat Alur/
Struktur :
1.
Pengenalan
Dek Kia memberi selamat pada kakaknya yang baru saja
menjuarai lomba olimpiade matematika dan mengatakan ia akan semakin disenangi
teman-teman di sekolah. Kak Musa cuma tersenyum dan mengucapkan alhamdulillah.
2.
Pemunculan masalah
Bunda juga memberi selamat pada Kak Musa namun Bunda
melarang Kak Musa untuk mengikuti lomba lagi.
3.
Konflik
Kak
Musa diminta mengikuti lomba lagi oleh gurunya namun Bunda meminta untuk tidak
ikut lomba tersebut.
4.
Klimaks
Kak
Musa bingung menentukan pilihan, namun kemudian dia lebih memilih mengikuti
nasihat Bunda.
5.
Antiklimaks
Guru
Kak Musa membujuk Kak Musa lagi mengikuti lomba dan berjanji akan menepis
segala kebanggaan dan kesombongan.
6.
Penyelesaian
Kak
Musa akhirnya memutuskan akan mengikuti lomba.
SANG JUARA
Di
sebuah rumah minimalis berwarna putih, saat hujan senja mulai turun di pinggir
kota Jogja. Suasana hangat dan bersahaja tergambar dalam keakraban sebuah
keluarga.
“
Kakakku sayang, selamat ya sudah juara olimpiade Fisika tingkat nasional,
bentar lagi dikirim ke tingkat internasional dong!” seru Kia pada kakaknya yang
sedang asyik membaca buku. Musa tersenyum sambil memandang adiknya yang selalu
ceria, ia berkata,” Alhamdulillah.”
Musa
sebenarnya remaja yang pintar, ia tak banyak bergurau meski kadang celetukannya
bisa membuat orang tertawa. Soal sabar ia bisa diandalkan sebagai anak sulung.
Pada satu masa, pernah ia membuat layang-layang yang akan dijual ke teman-teman
SD-nya, namun adik bungsunya Isa yang masih balita mengacak-acak layangan
buatannya sehingga rusak semua. Ia tak marah, cuma mengatakan, “ Ah....dek
Isa!” lalu ia pun merapikan layang-layang yang sudah tak berbentuk itu.
“
Kak! Kok kelihatan kurang senang gitu?” ujar Kia sambil terus memperhatikan
kakaknya,” Boleh kutebak, kakak takut ya makin didolakan temin-temin di
sekolah?”
“
Heh, apa itu temin-temin?” tanya Musa keheranan.
Kia
tertawa, lalu katanya,” Teman-teman kalau cowok, kalau cewek jadinya
temin-temin.”
“Kamu,
ada-ada saja, Kia!” kata Musa sambil berlalu. Ia lebih suka menghabiskan
waktunya untuk membaca kitab suci dan belajar.
Soal
juara, Bunda sudah mewanti-wanti agar ia betul-betul menjaga hati. Bangga
sangat dekat dengan kesombongan. Bunda tidak ingin anak kesayangannya menjadi
orang sombong karena terbuai oleh pujian dan pandangan kekaguman orang di
sekelilingnya. Bunda Musa bukanlah bunda biasa. Ia terbiasa hidup dalam
kesederhanaan dan tantangan untuk memberi manfaat dan ilmu pada orang-orang
menimba ilmu padanya. Memang Bunda Musa seorang guru, guru bagi anak-anaknya,
guru bagi murid-muridnya yang setiap minggu datang ke rumah mereka. Murid-murid
Bunda Musa kebanyakan mahasiswa dan ibu-ibu muda. Mereka datang untuk menimba
ilmu agama, ilmu kehidupan.
“
Alhamdulillah kakak juara lagi! Jangan lupa bersyukur ya kak!” seru Bunda
dengan suara lembut.
“
Iya, Bun,” jawab Kak Musa pendek. Ia sudah memahami apa maksud Bunda.
Musa
memang juara satu tingkat nasional dalam olimpiade Fisika dan ia seharusnya
mengikuti lomba untuk tingkat internasional. Pihak sekolah dan gurunya telah
mempersiapkan untuk hal itu, termasuk mengundang dosen Fisika dari universitas
favorit di kotanya. Namun pada suatu malam, saat ia tengah sibuk belajar,
Bundanya datang dengan senyum bijaknya.
“
Bunda, ganggu?” tanya Bunda lembut.
“
Nggak, Bun,” jawab Musa takzim.
“
Anak Bunda tersayang, Bunda tahu kamu sedang sibuk mempersiapkan untuk lomba
internasional. Namun ada sesuatu yang mengganjal di hati Bunda. Bunda tidak
ingin engkau memiliki bibit kesombongan meskipun sebesar biji sawi. Kau bangga
dengan semua pencapaianmu ini, Nak?” tanya Bunda sambil mengelus kepala Musa.
Musa
mengangguk. Bunda menarik napas dalam-dalam.
“
Ini yang Bunda takutkan! Engkau bangga dengan kelebihanmu. Rasa banggamu dapat
membimbingmu menuju kesombongan. Kau tahu darimana kaudapatkan semua
kepandaiamu. Dari Allah semata. Lalu apa alasanmu untuk memiliki kebanggaan
itu. Bersyukur itu bukan menengadah atau menepuk dada tetapi bersujud,
menundukkan wajah ke bawah, ke tanah.” Bunda memandang lekat-lekat wajah Musa yang
menunduk.
Bunda
melanjutkan perkataannya,” Bunda tidak akan mengizinkan kamu ikut lomba lagi
jika dalam hatimu masih ada kebanggaan yang membuatmu merasa sombong atas semua
prestasimu.”
Musa
masih terdiam kaku, bahkan ketika Bundanya keluar dari kamarnya. Hatinya galau
belum berujung. Menang tanpa kebanggaan, kebanggaan tanpa menyisakan
kesombongan, seperti beramal tanpa berkabar, uji keikhlasan diri, mampukah ia?
Pagi
hari, Musa pergi ke sekolah seperti biasa. Hari itu, ia dipanggil gurunya untuk
menanyakan kesiapannya mengikuti lomba internasional itu. Ia masih sangat
memikirkan perkataan Bunda tadi malam.
“
Musa, bagaimana persiapanmu untuk lomba? Nanti sore kamu ada pelajaran tambahan
dari Pak Hasan,” kata Bu Tika.
“
Ibu, bagaimana kalau saya mengundurkan diri?” ucap Musa perlahan.
Ibu
guru langsung kaget. Lalu kata Bu Tika,” Bagaimana bisa Musa, ini berhubungan
dengan kredibilitas sekolah kita, kemasyhuran sekolah. Kita harus mempertahankan
sebagai sekolah favorit di daerah kita. Sekolah kita bisa diblacklist karena hal ini. Ada masalah
denganmu?”
Musa
terdiam. Teringat Bunda, apakah ia ingin namanya masyhur di dunia atau di
akhirat? Beragam rasa dan pikir berkecamuk dalam benaknya. Ini tentang iman,
tentang segala puji bagi Allah, ini tentang kepentinganku sendiri atau tentang
kepentingan orang banyak.
“
Musa?” Ibu guru menyadarkan keterdiamannya.
“
Maaf, Bu. Saya akan berusaha memikirkan untuk tidak mengecewakan Ibu dan
sekolah.”
“
Apa kau ada masalah, Musa?” tanya Ibu guru lembut.
“
Iya, Bu. Namun, saya akan menyelesaikannya. Kalau saya sudah menyelesaikan
nanti saya akan menghadap Ibu.
Ibu
guru mengangguk dan Musa pamit pergi.
Dalam
beberapa hari kemudian, Musa banyak di kamar setelah pulang sekolah. Ia banyak
belajar dan berdoa, melenyapkan kesombongan, menundukkan pujian orang lain
sebagai pengingat untuk rendah hati. Hati yang mudah kotor ini milik Allah dan
tugasnya sebagai manusia untuk menjaganya selalu bersih.
Musa
menangis, kepasrahannya meruntuhkan hati bahwa setiap langkah yang ditempuhnya
harus memberi manfaat pada orang lain. Bahkan kasih sayang yang merona di semua
sudut hatinya seharusnya tak mengizinkan ia meremehkan orang lain sedikit pun,
bahkan terhadap keinginan gurunya, sekolahnya. Ia pun akan merebahkan senyumnya
serendah-rendahnya saat publikasi mengancam hatinya untuk berlaku riya’. Ia harus
berdaya pada saat tak berdaya.
Ujung
perenungan, Musa telah siap menghadapi harinya. Ia akan berusaha tidak
mengecewakan Bundanya, mutiara hatinya. Namun, ia juga berusaha memenuhi tugas
dari gurunya, satu dari kilau penerang hidupnya. Ia sungguh mengasihi mereka.
Pagi
itu Musa menghadap gurunya. Ibu gurunya tersenyum, lalu katanya,” Bagaimana,
Musa?” Musa mengangguk takzim sambil tersenyum pada gurunya.
“
Restui ananda, Bunda,” ujarnya dalam hati.