Sabtu, 22 Juli 2017

Puisi



BISA
Sebuah rasa manis di bibir wanita
Karena tergoda ular dalam surga
Yang membuat lelaki tergelak rasa tersedak
Lalu terlempar ke alam fana

Ada benar yang terasa manis
Yang pahit
Yang asin
Dan........
Yang tak berasa itu bukan bisa

Orang bicara berbisa-bisa
Sampai muncul semua bisa
Lalu membunuh semua asa
Yang ada dalam dada manusia

Jadilah manusia yang bisa
Bukan manusia berbisa


Handil Bakti, 8 Mei 2015


Makalah

cinta...cinta...bahasa Indonesia

 

PERIBAHASA DENGAN METAFORA BINATANG
SEBAGAI SARANA PENGAJARAN BAHASA INDONESIA
Susanti, M.Hum.
Abstract
This paper explain about proverb with animal metaphor as a  teaching medium of Indonesian language. Proverb has been used as a teaching medium of Indonesian language with goals to informed supreme values culture. Animal metaphor was used because animal life easier to describe human life. Proverb with the  animal metaphor explain positive and negative connotation. It so happens, the proverb function has been expressed praise, admiration, anger, anguish, and teasing. Proverb has been as a teaching medium of Indonesian Language  with goals to  produce active and passive heir of culture.

Kata kunci: peribahasa, metafora    

I. Pendahuluan
Peribahasa merupakan ungkapan lama yang sering digunakan untuk menyebut atau membicarakan seseorang atau sesuatu secara tidak langsung. Penyebutan tidak langsung ini karena masyarakat Melayu yang merupakan akar bahasa Indonesia merupakan masyarakat simbolik.
Dalam peribahasa masyarakat mengungkapkan pikiran dan perasaan kolektifnya secara kreatif dan menjelaskan ide-ide atau gagasan-gagasan kolektifnya secara meyakinkan. Peribahasa termasuk dalam genre sastra Melayu klasik. Nilai-nilai yang terkandung dalam peribahasa selalu relevan dari masa ke masa. Hingga sekarang ini masyarakat Melayu masih mempergunakan peribahasa  sebagai sarana retorika untuk mengungkapkan: 1) pujian; 2) kekaguman; 3) sesuatu yang tidak terpisahkan; 4) kemarahan; 5) celaan; 6) keputusasaan, kesedihan, atau kekecewaan; dan 7) sindiran. Sehubungan dengan itu maka setiap anggota masyarakat di lingkungan masyarakat Melayu, tanpa kecuali, dituntut untuk mempelajari hakikat keberadaan peribahasa , meliputi karakteristik bentuk, makna ungkapan, fungsi sosial, dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Peribahasa  harus diperkenalkan sejak dini kepada generasi muda masyarakat Melayu. Proses pengenalannya yang digagas dalam tulisan ini adalah melalui jalur pengajaran Bahasa Indonesia. Tujuannya agar mereka minimal menjadi pewaris pasif,  bahkan jika memungkinkan menjadi pewaris aktif atas peribahasa . Pewaris pasif adalah pewaris yang sekadar mengetahui dan menikmati namun tidak berminat menyebarkan. Adapun pewaris aktif adalah orang yang dapat menghafal sekumpulan peribahasa dan menyebarkannya.

II. Kriteria Peribahasa  yang Layak Diajarkan
Tidak semua peribahasa  dapat diajarkan kepada peserta didik di lembaga sekolah dasar. Halimatussa’diyah (2002:33) berpendapat peribahasa  dimaksud harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
1.    Kalimatnya lengkap dengan kosa-kata relatif mudah dipahami oleh anak-anak usia sekolah dasar
2.    Bentuk fisinya bersifat tetap, tidak mudah berubah dari waktu ke waktu, bersifat klise dan klasik (mempunyai vitalitas tradisional), dan
3.    Mengandung nilai-nilai budaya luhur yang menjunjung tinggi kebenaran dan kebijaksanaan, sehingga bisa dijadikan sebagai media pendidikan yang bersifat instruktif, imperatif, dan preventif.
Menurut Halimatussa’diyah (2002:33-34) butir-butir budaya luhur dimaksud antara lain: 1)  Tidak suka berpura-pura (bersikap hipokrit atau munafik); 2) Selalu bersikap hati-hati dan teliti; 3) Tidak suka berbuat onar; 4) Pandai menyesuaikan diri dengan lingkungan tempatnya berada; 5) Selalu bersikap hemat; 6) Tidak suka menyombongkan diri; 7) Selalu bersikap ulet dan rajin; 8) Pandai dalam mengelola harta kekayaan miliknya; 9) Tidak suka membebani atau mempersulit orang lain; 10) Selalu menaati ketentuan yang berlaku; 11) Tidak bersikap picik; 12) Tidak bersikap egois; 13) Tidak suka memperalat orang lain untuk kepentingan diri  sendiri; 14) Pandai membalas budi baik orang lain yang telah berjasa kepadanya.
Metode pengajaran peribahasa dalam bahasa Indonesia melalui pendekatan metafora binatang. Pendekatan ini dipilih untuk merangsang timbulnya minat mempelajari peribahasa di kalangan peserta didik yang dijadikan sasaran pengajarannya.

III. Peribahasa
            Menurut Alan Dundes, peribahasa atau ungkapan tradisional sukar sekali untuk didefinisikan, bahkan menurut Archer Tyalor peribahasa tidak mungkin diberi definisi. Namun pendapatr ini mendapat sanggahan dari Dundes, karena menurutnya walaupun sukar orang dituntut untuk dapat melakukannya. Salah satu cara yang dikemukakan oleh Dundes yaitu dengan mempergunakan ungkapan tradisional untuk menerangkan peribahasa.
            Konsep peribahasa juga dikemukakan oleh Cerventes yang mengungkapkan definisinya yaitu peribahasa adalah kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman panjang. Adapun Bertrand Russel menganggapnya sebagai kebijakan orang banyak yang berawal dari kecerdasan seseorang. Dari tiga ahli tersebut dapat dipahami bahwa peribahasa merupakan ungkapan tradisional dari komunitas masyarakat tertentu sebagai bentuk dari manifestasi kebijakan dan kecerdasan masyarakat yang diperoleh melalui pengalaman panjang.
            Peribahasa yang merupakan ungkapan tradisional sebagaimana yang dikemukakan oleh Dananjaja (1991; 28) mempunyai tiga sifat hakiki yang perlu diperhatikan oleh mereka yang meneliti yaitu a. Peribahasa harus merupakan satu kalimat ungkapan, tidak cukup hanya satu kata tradisional saja; b. Peribahasa ada dalam bentuk yang sudah standar dan c. Suatu peribahasa harus mempunyai vitalitas (daya hidup) tradisi lisan, yang dapat dibedakan dari bentuk-bentuk klise tulisan yang berbentuk syair, iklan, reportase dan sebagainya. (Brunvand, 1968; 38).
            Peribahasa dapat dibagi menjadi empat golongan besar, yakni : (a) peribahasa yang sesungguhnya (true proverb); (b) pribahasa yang tidak lengkap kalimatnya (proverbial pharase); (c) peribahasa perumpamaan (proverbial comparison); dan (d) ungkapan-ungkapan yang mirip dengan peribahasa (Brunvand, 1968; 40).           
            Jika dilihat dari fungsinya peribahasa, seperti juga folklor lisan pada umumnya, yakni sebagai sistem proyeksi, sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan, sebagai alat pendidikan anak, dan sebagai alat pemaksa dan pengawas norma-norma masyarakat agar selalu dipatuhi (Bascom, 1965a ; 279-298). Selanjutnya seperti bahasa lisan pada umumnya, peribahasa juga sebagai alat komunikasi, terutama dalam hal pengendalian masyarakat (social control), yang secara konkret untuk mengkritik seseorang yang telah melanggar norma masyarakat. Mencela seseorang dengan menggunakan peribahasa lebih mudah diterima dan lebih kena sasarannya daripada dengan celaan langsung.

IV. Definisi Metafora
Secara etimologis istilah metafora berasal dari bahasa Yunani meta dan pherein artinya memindahkan. Meta artinya di atas atau melebihi, dan pherien artinya membawa (Tarigan, 1985:15). Menurut Wahab (1990:142), metafora sudah menjadi bahan studi sejak zaman kuno. Konsep metafora pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles (Murtadho, 1997:70), ketika itu metafora didefinisikan sebagai ungkapan kebahasaan untuk menyatakan suatu nama dengan nama yang lain. Suatu cara subsitusi hal yang umum bagi hal yang khusus, hal yang khusus bagi hal yang umum, hal yang khusus bagi hal yang khusus, atau dengan analogi.  
Poerwadarminta (1976:648) sebagaimana yang dikutipkan Tarigan (1985:15) merumuskan metafora sebagai pemakaian kata-kata bukan dalam arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan berdasarkan persamaan atau perbandingan. Moeliono (1984:3) sebagaimana yang dikutipkan Tarigan (1985:15) merumuskan metafora sebagai perbandingan implisit untuk dua hal yang berbeda tanpa mempergunakan ungkapan pembanding sebagai dan seperti.
Metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang paling padat, singkat, dan tersusun rapi, di dalamnya terdapat dua gagasan. Gagasan pertama berupa kenyataan, sesuatu yang menjadi objek, atau sesuatu yang dipikirkan. Sementara gagasan kedua berupa pembanding, dan menggantikan gagasan yang ke dua dengan gagasan yang pertama (Tarigan, 1985:15).
Badudu (1981), merumuskan metafora sebagai gaya bahasa yang membandingkan sesuatu benda dengan benda yang lainnya. Keraf (1987), merumuskan metafora sebagai sebuah analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Wahab (1990:142), merumuskan metafora sebagai ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari lambang yang dipakainya, karena makna yang dimaksudkannya terdapat pada prediksi ungkapan kebahasaan itu sendiri. Dengan kata lain, metafora adalah pemahaman dan pengalaman akan sejenis hal yang dimaksudkan dengan perihal lain.      
Quintilian (via Wahab, 1986:5 via Murtadho, 1997:70) merumuskan metafora sebagai ungkapan kebahasaan yang dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang hidup bagi sesuatu yang hidup lainnya, sesuatu yang hidup bagi sesuatu yang mati, dan sesuatu yang mati untuk sesuatu yang mati lainnya.

V. Jenis-jenis Metafora 
Menurut Murtadho (1997:71), metafora terdiri atas dua jenis, yakni metafora dalam arti sempit, dan metafora dalam arti luas. Metafora dalam arti sempit adalah bentuk kiasan khusus di antara bentuk-bentuk kiasan lainnya, seperti : metonimi, sinekdoke, dan hiperbola. Sementara metafora dalam arti luas mencakup semua bentuk majas perbandingan (perumpamaan, kiasan, personifikasi), majas pertentangan (hiperbola, litotes, dan ironi), dan majas pertautan (metonimia, sinekdoke, alusi, dan eufisme).
Masih menurut Murtadho (1997:71), berkaitan dengan metafora ini ada 2 hal yang perlu diperhatikan, yakni kriteria penggantian dan kriteria kesamaan. Kriteria penggantian berlaku untuk metafora dalam arti luas, dalam konteks ini tanda linguistik yang  lazim dapat saja digantikan dengan tanda linguistik yang tidak lazim. Kriteria kesamaan berlaku untuk metafora dalam arti sempit.
Dasar pembentukan metafora menurut rumusan Ullmann (1972:213), adalah perbandingan, persamaan, atau pengidentifikasian antara dua referen yang memiliki keserupaan atau kemiripan satu sama lainnya. Dua referen yang dimaksudkan Ullmann disebutnya tenor dan wahana. Tenor merujuk kepada “barang yang sedang kita perbincangkan”  (the thing we are talking about), sementara wahana merujuk kepada “barang lain yang kita perbincangkan dengannya” (that to which we are comparing if) (Subroto, 1989:47).
Metafora menurut pendapat Subroto (1989:45) merupakan salah satu wujud bahasa yang diciptakan oleh daya kreatif manusia dalam penerapan makna bahasa. Melalui kreatifitas berbahasa yang ada padanya, manusia memberikan makna lambang yang baru kepada kata-kata (referen) yang telah ada.  Hal ini terjadi karena jumlah lambang masih sangat terbatas sementara benda-benda yang ada di sekeliling manusia tidak terbatas jumlahnya.
Kridalaksana (1993:136), merumuskan bahwa metafora adalah pemakaian kata lain atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan. Contoh kongkrit yang dikemukakannya adalah kaki gunung, kaki meja, pada kaki manusia. Moeliono (1997:651), merumuskan bahwa metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata yang bukan dengan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Contoh kongkrit yang dikemukakannya adalah pemuda adalah tulang punggung negara. Metafora terbagi menjadi 4 jenis, yakni: (1) metafora antropomorfis, (2) metafora binatang, (3) metafora sinestetik, dan (4) metafora yang timbul karena pemindahan pengalaman dari kongkrit ke abstrak atau sebaliknya (penulis lebih suka menyebutnya metafora jenis ke empat).

VI. Klasifikasi Genre Metafora Binatang
Istilah metafora binatang yang dipergunakan dalam tulisan ini merujuk kepada gambaran bentuk fisik dan tingkah laku binatang yang dimanfaatkan sebagai bahan perbandingan untuk menggambarkan bentuk fisik dan tingkah laku manusia. Ada dua jenis metafora binatang, yakni metafora binatang yang bersifat positif (metafora positif), dan metafora binatang yang bersifat negatif (metafora negatif).
Metafora positif adalah metafora binatang yang secara stilistika atau secara konotatif langsung merujuk kepada makna yang positif. Tidak hanya itu, peribahasa  yang mengandung metafora binatang bermakna positif ini juga identik dengan fungsi-fungsi positif, antara lain: 1) sebagai sarana retorika untuk memuji;  2) sebagai sarana retorika untuk menyatakan kekaguman; dan 3) sebagai sarana retorika untuk menyatakan sesuatu yang tidak terpisahkan. Adapun yang dimaksud dengan metafora negatif adalah metafora binatang yang secara stilistika atau secara konotatif langsung merujuk kepada makna yang negatif. Tidak hanya itu, peribahasa binatang bermakna negatif ini juga identik dengan fungsi-fungsi negatif, yakni; 1) sebagai sarana retorika untuk mengungkapkan kemarahan; 2) sebagai sarana retorika untuk mencela; 3) sebagai sarana untuk mengungkapkan keputus-asaan, kesedihan, atau kekecewaan; dan 4) sebagai sarana retorika untuk menyindir.

VII. Keberadaan Metafora Binatang dalam Peribahasa 
Peribahasa  merupakan genre/jenis folklor  yang kaya dengan metafora, karena peribahasa  merupakan rangkaian kata (kalimat) yang ditata dengan tendensi makna konotatif dan makna stilistika tertentu. Penyebabnya ada dua, yakni: 1) di dalam peribahasa , dunia nyata dan dunia kias saling bercampur baur menjadi satu; dan 2) fungsi sosial peribahasa  sama dengan fungsi metafora, yakni sebagai sarana untuk mengatakan suatu hal (dunia nyata) dengan rangkaian kata yang bermakna implisit (dunia kias).
Metafora dibuat atau diciptakan manusia sebagai hasil olah pikir dan olah rasanya yang kreatif, sehingga dapat dikatakan bahwa kekayaan metafora yang dimiliki oleh suatu suku bangsa identik dengan tingkat kecerdasan linguistik suku bangsa itu sendiri. Semakin kaya khasanah metaforanya berarti semakin tinggi pula tingkat kecerdasan linguistiknya.
Sumber ilham yang menjadi dasar pembuatan atau penciptaan metafora oleh manusia tidak lain adalah alam lingkungan tempat tinggalnya. Manusia memang tidak dapat melepaskan dirinya dari pengaruh alam lingkungan tempat tinggalnya. Tidak terkecuali dalam hal pembuatan atau penciptaan metafora. Interaksi manusia dengan sesamanya, dengan benda-benda di sekitarnya, dan dengan flora atau fauna yang ada di alam lingkungan tempat tinggalnya, tercermin dalam metafora yang dibuat atau diciptakannya.
Keberadaan metafora binatang dalam khasanah peribahasa , tak pelak lagi diciptakan berdasarkan sumber ilham yang berasal dari penghayatan kontemplatif penggubahnya atas alam lingkungan di sekitar tempat tinggalnya, baik yang bersifat fisik, maupun yang bersifat sosial.



VIII. Contoh-Contoh Peribahasa  
Contoh peribahasa  yang mempergunakan metafora binatang sangatlah banyak jumlahnya. Pada kesempatan ini dikutipkan peribahasa  yang mempergunakan metafora ikan, burung, dan kucing.
(1) Ikan belum dapat, airnya sudah keruh
Peribahasa  tersebut bermakna penerapan pekerjaan yang tidak tepat atau keadaan menjadi buruk sebelum pekerjaan selesai.
(2) Ikan di laut, asam di gunung bertemu dalam belanga
Peribahasa  di atas merupakan ungkapan untuk menggambarkan seseorang yang tinggal di sebuah daerah yang jauh misalnya pegunungan dapat berjodoh dengan orang yang berada jauh dari kampungnya atau kota.
(3)  Ikan lagi di laut, lada garam sudah di sengkalan
Peribahasa  ini merupakan olok-olok untuk mencela seseorang yang bersiap-siap ingin mengecap hasil pekerjaan yang belum pasti berhasil.
(4)  Memancing ikan dalam belanga
Peribahasa  ini merupakan ungkapan yang ditujukan kepada seseorang yang mencari keuntungan dalam lingkungannya sendiri.
(5)  Seperti ikan kena tuba
Peribahasa  di atas merupakan keyakinan bahwa sesuatu yang jinak mudah ditangkap.
(6)  Tuba binasa, ikan tak dapat
Peribahasa  di atas merupakan olok-olok untuk mencemooh seseorang yang melakukan pekerjaan yang sia-sia.

(7)  Ikan bergantung, kucing tunggu

Peribahasa  di atas merupakan olok-olok untuk mencemooh seorang yang mengharapkan sesuatu yang mustahil didapat, ia kesal karena tidak bisa mendapatkan sesuatu yang sudah di depan mata.

(8)  Ada air ada ikan
Peribahasa  ini merupakan ungkapan yang menyatakan bahwa di mana pun seseorang hidup dan berusaha maka ia akan mendapat rejeki.
(9)  Ikan kecil makanan ikan besar
Peribahasa  di atas merupakan ungkapan untuk menggambarkan bahwa orang kecil atau masyarakat jelata sering menjadi korban kepentingan dan kebijakan para pemimpin dan pejabat.
(10)  Terpegang ikan, amis tangan
Peribahasa  di atas merupakan ungkapan untuk menggambarkan perbuatan seseorang yang mencemarkan nama baiknya sendiri.
(11) Kuat ikan karena radai, kuat burung karena sayap
Peribahasa  ini merupakan ungkapan setiap orang memiliki kelebihan masing-masing sehingga kita harus saling menghargai.
(12) Bagaikan burung dalam sangkar
Peribahasa  di atas ini merupakan gambaran seseorang yang kehilangan hak asasinya sebagai manusia berupa kebebasan.
(13) Burung gagak itu kalau dimandikan dengan air mawar sekalipun, tidak akan menjadi putih bulunya.
Peribahasa  di atas merupakan ungkapan untuk menyebut seseorang yang bertabiat jahat akan sukar untuk diperbaiki.
(14) Dengarkan cerita burung, anak dipangku dilepaskan  
Peribahasa  di atas merupakan ungkapan perasaan seseorang yang sibuk mengurusi persoalan orang lain, tetapi urusannya sendiri terbengkalai.
(15) Harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan
Peribahasa  di atas merupakan olok-olok untuk mencemooh seseorang yang mengharapkan keuntungan yang belum pasti, sedangkan keuntungan kecil yang sudah pasti didapat dilepaskan.
(16) Ibarat burung dalam sangkar, mata lepas badang terkurung
Peribahasa  ini merupakan keadaan seseorang yang berada dalam pengawasan, walaupun terpelihara dengan baik, tetapi selalu terikat atau tidak bebas.
(17) Seperti anjing dan kucing  
Peribahasa  ini merupakan olok-olok untuk dua seorang yang selalu bermusuhan atau tidak pernah berdamai.
(18) Bagai kucing dibawakan lidi
Peribahasa  ini merupakan gambaran tentang seseorang yang telah berbuat salah akan takut menghadapi orang lain.
(19) Membeli kucing dalam karung
Peribahasa  ini merupakan gambaran tentang seseorang yang telah membeli seseuatu namun kurang diteliti atau diperiksa dulu keadaan barangnya, sehingga ketika telah sampai ke rumah ia kecewa.
(20) Biarpun kucing naik haji, pulangnya mengeong juga.
Peribahasa  ini merupakan gambaran tentang seseorang yang tidak berubah tabiatnya meskipun telah pergi jauh mendapatkan pengajaran yang baik.
(21) Memukul kucing di dapur
Peribahasa  ini merupakan gambaran tentang seseorang yang telah mencelakakan anak kandungnya sendiri.
(22) Bagai kucing bermain daun
Peribahasa  ini merupakan gambaran tentang seseorang yang ingin menunjukkan kelebihannya sendiri dihadapan orang lain.
(23) Duduk seperti kucing melompat seperti harimau
Peribahasa  ini merupakan gambaran tentang seseorang yang pendiam namun dapat dengan mudah mencelakakan orang lain.
(24) Seperti kucing terkena balur
Peribahasa  ini merupakan gambaran tentang seorang pemuda yang pemalu sehingga ia kesulitan mendekati seorang gadis.








IX.  Kesimpulan
Peribahasa  yang direkomendasikan untuk diajarkan dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi dua klasifikasi, yakni: 1) peribahasa  dengan metafora bintang berkonotasi positif; 2) peribahasa  dengan metafora binatang berkonotasi negatif
Peribahasa  dengan metafora binatang berkonotasi positif, yakni peribahasa  yang secara stilistika atau secara konotatif langsung merujuk kepada makna yang positif. Tidak hanya itu, peribahasa  yang mengandung metafora binatang bermakna positif ini juga identik dengan fungsi-fungsi positif, antara lain sebagai sarana retorika untuk mengungkapkan: 1) pujian; 2) kekaguman; dan 3) sesuatu yang tidak terpisahkan.
Sementara itu peribahasa  dengan metafora binatang berkonotasi negatif, yakni peribahasa  yang secara stilistika atau secara konotatif langsung merujuk kepada makna yang negatif. Tidak hanya itu, peribahasa binatang bermakna negatif ini juga identik dengan fungsi-fungsi negatif, yakni sebagai sarana retorika untuk mengungkapkan: 1) kemarahan; 2) celaan; 3) keputusasaan, kesedihan, kekecewaan, dan (4) sindiran.
Peribahasa  merupakan kekayaan budaya milik bersama yang paling nyata bagi masyarakat Melayu. Meskipun hanya berupa kata-kata berbentuk puisi atau kalimat, peribahasa  dapat menjadi ciri budaya yang dapat mempersatukan masyarakat Melayu dalam suatu ikatan memori kolektif.

DAFTAR RUJUKAN
Aminuddin,. 1988. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: PT Sinar Baru. Cetakan I.

Brunvand, Jan Harold. 1978. The Studi of American Folklor-an Introduction. New York: W.W Norton & Co. Inc.

Chaer, Abdul. 1996. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti. 

Ganie, Tajuddin Noor. 2005. ”Karakteristik Paribasa: Kajian Bentuk, Fungsi, Makna dan Nilai” Banjarmasin: PBSID FKIP Unlam. (tesis).

Hidayat, Kidh dan M. Burhan. 2004. Kamus Lengkap Peribahasa Indonesia. Jakarta: Bintang Indonesia
Muhibah, 2004. ”Pemanfaatan Metafora Tumbuhan dan Binatang dalam Ungkapan Bahasa ”. Banjarmasin: STKIP PGRI. (skripsi)

Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Sufriadi, 2007. ”Pemanfaatan Metafora Binatang dalam Peribahasa ” masin: STKIP PGRI. (skripsi)

Wahab, Abdul. 1990. ”Metafora Sebagai Alat Pelacak Sistem Ekologi” dalam PELLBA 3. Peny: Purwo, Bambang Kaswanti. Jakarta: Kanisius dan Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.