Selasa, 24 November 2009

eufemisme

Eufemisme sebagai Sikap Berbahasa dalam Bahasa Indonesia

Oleh

Susanti S.S,.M.Hum

STKIP PGRI Banjarmasin

Abstrak

1. Pendahuluan

Bahasa memiliki sifat interpersonal dimana bahasa berfungsi sebagai sikap penutur dan sebagai pengaruh pada sikap dan perilaku petutur. Fungsi ini mencakup fungsi ekspresif dan fungsi informatif (Leech,1982:205). Bahasa juga memiliki fungsi phatik, yaitu fungsi untuk menjaga agar garis komunikasi tetap terbuka, dan untuk terus menjaga hubungan sosial secara baik. Saat seseorang berbahasa, mengucapkan atau menulis kalimat dalam suatu bahasa, sebenarnya juga sedang menjaga hubungan sosial. Ia akan mempertimbangkan norma apa yang berlaku di lingkungan sosial budaya dimana ia berbahasa. Hal tersebut dilakukan agar terjadi hubungan harmonis dan komunikasi yang efektif.

Hubungan yang harmonis dalam masyarakat termasuk dalam hal kehidupan berbahasa akan terwujud dengan memperhatikan adat budaya. Salah satu bagian budaya yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat adalah sopan santu. Di dalam bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia, sopan santun mengyangkut sikap dan tata cara yang baik, kesopanan, atau kesantunan. Dengan demikian, sopan santunvtelah mengaitkan nilai baik atau buruk, pantas atau tidak pantas. Orang yang bersikap atau berbicara kasar pada orang lain dapat dikategorikan sebagai orang yang tidak sopan atau tidak santun, sebaliknya orang yang bersikap santun ketika berbicara dengan orang lain dapat dikategorikan orang yang sopan.

Kesantunan dalam berbahasa merupakan ciri khas masyarakat berbudaya tinggi. Kesantunan dimaksudkan agar tidak ada pihak-pihak yang merasa tersinggung dan merasa tidak nyaman. Sikap berbahasa yang tepat akan mendukung suasana yang menyenangkan dalam komunikasi sebagai peristiwa bahasa. Oleh karena itu, terkadang untuk mengungkapkan kesantunan pengguna bahasa dituntut untuk mengatakan sesuatu yang buruk atau jelek dengan bahasa yang halus dan meminimalkan ketersinggungan untuk menjaga muka seseorang.

Salah satu cara untuk mengungkapkan sesuatu hal yang buruk dan jelek agar terkesan baik adalah eufemisme. Seperti misalnya, untuk mengatakan anak cacat digunakanlah kata-kata seperti tuna rungu (untuk orang tuli), tuna netra (untuk orang buta), tuna daksa (untuk orang yang cacat tubuh). Seiring pemikiran masyarakat untuk menghindari diskriminasi terhadap orang cacat (orang yang memiliki kekurangan fungsi tubuh) dan lebih menghaluskan ungkapan kata tersebut, sekarang kata-kata tersebut diganti dengan orang yang memiliki kebutuhan khusus. Hal ini dimaksudkan agar orang cacat, meskipun memiliki kekurangan, tetap merasa sebagai manusia, namun mereka adalah manusia yang memiliki kebutuhan yang lain dari manusia kebanyakan seperti pendidikan khusus, jalan khusus bagi pengguna kursi roda, dan sebagainya.

2. Konsep Eufemisme

Pada dasarnya, semua yang dikomunikasikan lewat bahasa yaitu berupa kata, frase atau kalimat memiliki makna. Pada awal mulanya makna yang ada merupakan makna konseptual, makna yang didasarkan pada konvensi bahasa, yang merupakan faktor sentral dalam komunikasi bahasa. Menurut Leech (2003:38), makna konseptual merupakan unsur terpenting dalam komunikasi bahasa karena berupa pengertian yang logis, kognitif dan denotatif. Makna konseptual adalah makna yang sesuai konsepnya, makna yang sesuai referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun.

Perkembangan dan perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat, membuat komunikasi bahasa pun mengalami imbasnya. Manusia menyalurkan kreativitasnya melalui bahasa, sehingga setiap kata, frase atau kalimat tidak hanya memiliki makna konseptual saja. Namun dapat memiliki berbagai makna asosiatif sejalan dengan kepentingan-kepentingan praktis pengguna bahasa. Kepentingan-kepentingan tertentu seperti untuk menghindari tabu atau menghormati pihak lain bahkan sebagai perwujudan argumentasi politik, membuat pengguna bahasa membuat pergeseran atau perubahan makna. Perubahan makna terjadi melalui asosiasi makna yang dapat ditimbulkan oleh suatu kata sehingga timbullah beragam makna seperti makna konotatif, makna stilistik, makna afektif, makna refleksi, dan makna kolokatif. Eufemisme atau penghalusan menengarai kata atau ungkapan yang memiliki beberapa makna asosiatif seperti makna stilistik dan makna afektif.

Kata eufemisme berasal dari bahasa Yunani euphemisme yang artinya berbicara baik. Eufemisme juga berarti elegan, halus, lemah lembut, meletakkan rapi dan baik yang dinyatakan. Ini dipakai untuk menyebut sesuatu yang dirasakan mengganggu atau tidak enak, agar terdengar lebih enak atau menjadi yang sebenarnya. Caranya adalah dengan mengganti kata-kata yang memiliki konotasi ofensif dengan ungkapan lain yang menyembunyikan kata yang tidak enak tersebut, dan bahkan menjadi sebutan yang sifatnya positif (Leech,2003:71). Seperti misalnya untuk mengatakan pemecatan bagi anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dikatakan recall, hal ini karena untuk menyatakan langsung pemecatan terasa tidak enak, maka digunakan kata recall yang artinya menarik kembali tugas anggota DPR dari yang bersangkutan, hal ini biasanya karena yang bersangkutan melakukan kesalahan.

Eufemisme juga merupakan sebuah gaya bahasa yang berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan, atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan(Keraf, 1996:132). Jadi, dapat dikatakan eufemisme terjadi karena adanya keinginan dari pengguna bahasa untuk merekayasa asosiasi makna yang enak didengar dari kata yang memiliki asosiasi yang tidak dikehendaki,. Tujuannya adalah membuat komunikasi bahasa berjalan dengan baik dan tidak menampar muka lawan bicara. Oleh karena itu, jika ada hal yang tidak enak didengar atau dapat menyinggung perasaan pihak-pihak tertentu, maka saat itulah eufemisme hadir sebagai jalan keluar bagi komunikasi bahasa yang baik. Dalam komunikasi politik, eufemisme diperlukan untuk menghindari ketakberterimaan dari sasaran komunikasi. Seperti kata pemekaran wilayah yang arti sebenarnya pemecahan wilayah. Kata pemecahan tidak dipilih karena maknanya dapat mengganggu fungsi negara kesatuan.

3. Sikap Berbahasa

Sikap dan kebiasaan mempunyai hubungan erat. Keduanya dibentuk melalui pengalaman sejarah perkembangan hidup seseorang kaitannya dengan objek tertentu. Sikap memiliki tiga komponen, yaitu: 1) komponen kognitif; 2) komponen afektif; dan 3) komponen perilaku. Komponen kognitif menyangkut pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipakai dalam proses berpikir. Komponen afektif menyangkut perasaan atau emosi yang mewarnai atau menjiwai pengetahuan atau gagasan yang terdapat dalam komponen kognitif. Komponen afektif menyangkut nilai rasa ” baik atau tidak baik”, ”senang atau tidak senang” terhadap sesuatu. Komponen afektif ini pada umumnya tertanam sejak lama dan merupakan salah satu aspek dari sikap yang paling bertahan lama. Atau sebaliknya, apabila seseorang mempunyai rasa, ”tidak suka atau tidak baik” terhadap sesuatu, maka ia mempunyai sikap ”negatif” komponen perilaku menyangkut kecenderungan seseorang untuk berbuat atau bereaksi dengan cara tertentu terhadap suatu keadaan (Sumarsono, 2002; 358).

Apabila dipahami lebih jauh lagi komponen kognitif sebagai salah satu dari komponen sikap yang mampu untuk merespon terhadap situasi lingkungan. Sebagaimana yang dikemukan Saifudin Azwar (1995; 5) menyatakan keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi) pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap lingkungan. Mengacu pada konsepsi tersebut, ini dapat dipahami pengaruh lingkungan sangat besar terhadap diri seseorang. Hal ini tentunya termasuk juga dalam sikap berbahasa.

Penggunaan eufemisme dalam berbahasa, dapat dikatakan merupakan wujud dari sikap berbahasa seseorang. Bagaimana seseorang berpikir, tanggap terhadap lingkungan, menyatakan perasaan tidak suka, menyatakan hal yang tidak baik atau negatif dengan pemaparan yang bisa diterima semua pihak pengguna bahasa. Misalnya penggunaan kata tunasusila atau PSK (Pekerja Seks Komersil) dianggap lebih baik daripada dikatakan pelacur atau wanita panggilan. Hal ini karena pencitraan terhadap pelacur atau wanita panggilan adalah negatif.

4. Eufemisme dalam Bahasa

Eufemisme digunakan oleh pengguna bahasa karena ada norma dan kebiasaan dalam masyarakat. Ada aspek yang diwajibkan, disarankan, atau diseyogyakan penggunaannya seperti misalnya menghormati orang tua, atasan, tetapi ada juga yang dilarang untuk diungkapkan secara langsung karena bisa merusak harga diri dan kehormatan seseorang. Masyarakat mengenal istilah yang cukup populer, yakni tabu. Istilah ini secara sederhana diartikan sebagai dilarang atau tidak dibenarkan. Kata tabu berasal dari bahasa Polynesia, taboo, yang dapat diartikan dalam dua bidang yang bertentangan arah. Di satu sisi tabu berarti suci, sakral, di sisi lain ia berarti berbahaya, dilarang, atau tidak bersih.

Tabu merupakan fenomena pengertian yang tidak boleh didekati, dan pada dasarnya dimaksudkan sebagai sesuatu yang berada di wilayah terlarang (Freud, 1952). Apabila dibicarakan lebih jauh, tabu akan menjamah pengertian-pengertian: 1) barang yang suci atau sakral (atau karakter manusia atau benda yang tidak bersih); 2) sejenis larangan yang timbul sebagai akibat karakter pada barang yang suci atau sakral; 3) ketidakbersihan atau ketidaksucian yang diakibatkan oleh pelanggaran terhadap larangan.Masalah tabu yang merupakan salah satu masalah yang beraspek tertentu dalam kehidupan, juga menjadi alasan untuk melakukan rekayasa asosiasi makna dalam berbahasa melalui eufemisme. Perlu diingat kembali bahwa bahasa bukanlah fenomena yang terasing, melainkan sebagai suatu tindakan, bahasa senantiasa di dalam konteks yang penuh pada peristiwa nonlinguistik yang menjadi latar belakangnya (Hayakawa, 1963).

Seperti telah disebutkan, kehidupan berbahasa mengenal makna konseptual dan makna afektif. Pada makna konseptual, kelurusan maksud menjadi utama sedangkan pada makna afektif, pernyataan tidak mengandung makna yang dimaksud atau tafsir yang menyamarkan untuk tujuan tertentu. Eufemisme lebih dekat dengan makna afektif. Dalam eufemisme, makna yang tidak menyenangkan diminimalkan atau dihaluskan. Seperti untuk menyebut buronan diganti dengan DPO (Daftar Pencarian Orang), kata korupsi diganti menyalahgunakan jabatan. Hal ini semata-mata dimaksudkan untuk menghaluskan pernyataan, seperti agar kata penjara tidak terdengar menyeramkan diganti dengan lembaga pemasyarakatan.

Budaya mengajarkan berbagai tata cara berbahasa dengan motif menciptakan situasi komunikasi yang nyaman dan berada dalam harmoni. Itulah sebabnya pada saat terdapat istilah atau ungkapan yang dapat mengundang konflik makna yang tidak menyenangkan, ia akan disisihkan dan selanjutnya digunakan ungkapan lembut yakni eufemisme. Sesuai dengan prinsip kesopanan dari Leech (1982: 206-207) yaitu maksim kearifan yang menyatakan’buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin; dan maksim pujian yang menyatakan ’kecamlah orang lain sesedikit mungkin dan pujilah orang lain sebanyak mungkin’. Dengan demikian, dapat dicontohkan orang tidak perlu mengatakan Pak Harto sedang dalam keadaan sekarat, namun ungkapan itu dapat diganti Pak Hartosedang dalam keadaan kritis. Kata sekarat yang dirasa kasar dan lugas diganti dengan kata kritis. Kata kritis sendiri dalam kamus bahasa Indonesia artinya gawat, genting, atau keadaan yang menunjukkan berhasil atau tidaknya usaha. Kata kritis digunakan lebih karena pertimbangan prinsip kesopanan, menghormati orang lain, dan juga menghindari tabu. Eufemisme juga digunakan untuk memuji dan menjaga muka orang lain. Misalnya jika seseorang disuruh menilai pekerjaan teman yang hasilnya jelek tapi ia tidak mau membuat temannya tersinggung, ia dapat mengatakan Pekerjaanmu lumayan, kata lumayan digunakan untuk menggati kata jelek. Jadi, adanya hal yang tidak mengenakkan atau tabu yang kalau diungkapkan dapat menimbulkan suasana tidak nyaman, menimbulkan kehadiran eufemisme diperlukan untuk mengatasi hal tersebut.

Fungsi eufemisme yang lain dalam berbahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia adalah menyamarkan atau menutupi sesuatu. Hal ini dapat disebabkan bila diungkapkan secara langsung akan mengancam muka seseorang. Untuk tujuan tersebut, ada pengguna bahasa yang menggunakan bahasa asing (bahasa Inggris), ini dimaksudkan agar orang yang tidak mengetahui artinya menganggap hal itu terlihat bagus. Misalnya orang menyebut pekerjaannya office boy yang dalam bahasa Indonesia artinya pesuruh. Kata office boy dirasa lebih halus dan terhormat daripada pesuruh, padahal inti pekerjaannya sama saja. Demikian juga kata tukang bersih-bersih diganti cleaning service, kata pengawal diganti bodyguard, kata penagih hutang diganti debt collector. Penggunaan kata-kata dalam bahasa asing itu dirasa lebih enak didengar daripada artinya dalam bahasa Indonesia.

5. Eufemisme sebagai Sikap Berbahasa dalam Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari masyarakat Indonesia sebagai penggunanya. Masyarakat yang makin berkembang dan menampilkan perkembangannya di berbagai sektor kehidupan termasuk bahasanya. Dalam perkembangan bahasa, terjadi fenomena yang kompleks dan rumit yang menuntun pengguna bahasa menaruh perhatian yang lebih besar. Ketrampilan berkomunikasi menjadi tuntutan apabila orang ingin berada pada posisi yang tepat dalam masyarakat. Kecerdasan, daya pikir yang berkembang memungkinkan kreativitas dalam memunculkan sikap berbahasa. Itulah sebabnya banyak kreasi di dalam sarana berbahasa. Orang cenderung menghindari hambatan komunikasi di samping mengejar efisiensi. Oleh karena itu, pergeseran atau perubahan makna dari kata atau ungkapan tertentu menjadi hal yang selalu terjadi karena kepentingan kelancaran dan variasi dalam komunikasi lewat bahasa.

Bahasa Indonesia berkembang menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan, sosial, dan budaya masyarakat. Adalah sebuah keniscayaan jika ada perubahan sikap pula pada pengguna bahasa terhadap kosakata atau ungkapan dalam bahasa Indonesia. Selain itu, kreativitas pengguna bahasa dapat menjadikan perubahan itu terjadi, misalnya perbedaan bidang pemakaian. Seperti telah diketahui setiap bidang kehidupan memiliki kosakata tersendiri yang hanya dikenal dan digunakan makna dalam bidang tersebut, misalnya dalam bidang agama Islam ada kata-kata seperti imam, hijrah, puasa, halal, haram dan sebagainya. Kata-kata tersebut dapat dipakai dalam bidang lain dengan makna yang bertautan, misalnya Rieke Diah Pitaloka hijrah dari PKB ke PDIP, hijrah dalam Islam adalah pindahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah untuk mempertahankan Islam, namun dalam contoh tersebut bermakna berpindah haluan politik. Alasan perubahan yang lain adalah perubahan asosiasi dari pengguna bahasa, misalnya kata amplop (yang makna denotatifnya sampul surat yang isinya biasanya surat, namun bisa juga diisi uang), pada konteks tertentu bisa berarti suap. Misalnya, dalam kalimat Jika hendak masuk menjadi pegawai di lembaga tersebut harus menyediakan amplop. Kata hijrah dan amplop dalam contoh di atas termasuk dalam eufemisme. Kedua kata tersebut digunakan untuk menghaluskan (eufemia) atau menyembunyikan hal yang dianggap rahasia atau tabu.

Ada dua proses lain yang sering terjadi dalam bahasa karena perubahan pandangan masyarakat pengguna bahasa yaitu peyorasi dan ameliorasi yang merupakan sumber eufemisme. Peyorasi adalah sikap penilaian yang menurun terhadap satuan lingual tertentu sebagai akibat kecurigaan sosial, sedangkan ameliorasi adalah penilaian yang lebih baik terhadap makna satuan lingual tertentu.

Apabila diperhatikan salah satu sumber peyorasi adalah eufemisme, sebagai cara menghindari penggunaan kata-kata yang bersifat tabu. Para pengguna bahasa mungkin menggunakan bentuk alternatif yang pada masanya memperoleh maknanya yang sesungguhnya dan serta merta hilang dari pemakaian. Misalnya kata perempuan (dari kata empu ’yang dihomati’) kemudian mengalami penilaian yang menurun sehingga digunakan untuk kata-kata perempuan jalang, perempuan malam yang maknanya perempuan lacur.

Di tempat lain orang menemukan proses ameliorasi sebagai penilaian yang lebih baik terhadap makna satuan lingual tertentu. Bahasa Sansekerta vanitta yang berarti ’budak’ atau dalam bahasa Indonesia wanita, berubah arti menjadi perempuan terhormat di dalam bahasa Indonesia.

Dalam bahasa Indonesia, perubahan amelioratif terjadi pada istilah daerah miskin menjadi daerah tertinggal, tuli menjadi tuna rungu, anak cacat menjadi anak berkebutuhan khusus. Berbagai alternatif itu muncul sebagai akibat anggapan dan sikap pengguna bahasa yang berkait dengan kelembutan, kemegahan dan kehormatan.

Kehadiran eufemisme tidak hanya terdapat di bidang yang santun atau terhormat saja, bahkan di bidang tabu dan makian, seperti berak diganti ke belakang, tempat kencing diganti kamar kecil, sangat bodoh diganti agak terbelakang, celaka diganti kurang beruntung, penis diganti burung dan sebagainya. Bentuk tersebut selalu berada pada konteks pemakaian bahasa atau wacana. Bahasan ini tentu saja berada dalam konteks sebuah wacana, karena perubahan makna dan asosiasi tidak mungkin lepas dari konteks.

Dalam komunikasi bahasa, eufemisme dimanfaatkan untuk dua hal yaitu, untuk ekspresi suasana yang lembut dan untuk menghapus atau menyembunyikan tindakan yang kurang bermoral. Eufemisme yang tercipta demi santun bahasa misalnya mereka purnawirawan yang berjasa. Kata purnawirawan untuk menggantikan kata bekas tentara. Penggunan kata purnawirawan untuk lebih menghormati bekas tentara yang banyak berjasa pada negara. Adapun eufemisme yang diciptakan untuk menyembunyikan sesuatu yang tidak bermoral misalnya Di Kelurahan Mawar banyak salon memberi pelayanan plus-plus (pelayanan plus-plus yang dimaksud bukan tambahan pelayanan salon seperti keramas, cuci muka, atau potong rambut, tapi pelayanan perbuatan asusila / seksual). Sebenarnya cukup banyak pemanfaatan eufemisme dalam bahasa Indonesia yang dipergunakan yang dikemukakan dahulu dan telah menjadi hal yang lazim bagi penguna bahasa. Seperti misalnya, sekolah luar biasa (sekolah untuk anak-anak cacat); panti wreda (sebuah panti tempat orang-orang lanjut usia yang tidak diurusi keluarganya); panti asuhan (sebuah panti tempat anak yatim piatu); lembaga pemasyarakatan (penjara).

Diatas telah dijelaskan mengenai perubahan sosial budaya dan sikap pengguna yang terjadi yang menjadi sebab perubahan makna. Perubahan makna itu terjadi karena kebutuhan dalam kesantunan bahasa. Jika diperhatikan ada beberapa alasan pemakaian eufemisme dalam bahasa Indonesia dapat dirumuskan ke dalam beberapa tujuan (Ariatmi, 1997) yaitu:

1) Menghilangkan tabu verbal maksudnya adalah jika sesuatu kata yang tidak dapat dinyatakan itu harus dinyatakan maka pengguna bahasa akan menggantinya dengan cara lain (Wardaugh, 1986:229).

Contoh:

Amin Rais menyatakn suksesi semata-mata untuk kepentingan bangsa ini. Suksesi (pergantian pemimpin negara) saat orde baru adalah hal yang tabu untuk dinyatakan sehingga digunakan kata suksesi.

Dimana kamar kecilnya? Kata kamar kecil digunakan untuk menggantikan kata tempat kencing karena penyebutan tersebut dapat dikatakan tidak sopan atau tabu.

2) Menghormati pihak lain

Contoh:

Mantan Mendagri, Rudini menyarankan agar ada upaya mempertemukan mantan jenderal yang vokal dengan para perwira tinggi. Kata mantan digunakan karena lebih halus dari bekas meskipun artinya sama. Contoh lain misalnya, Jaring Pengaman Sosial (JPS) digunakan untuk menggantikan kata dana untuk orang miskin.

3) Diplomasi

Contoh:

Pemda Jakarta akan membebaskan lahan di bawah jembatan tol. Kata membebaskan digunakan untuk menggantikan kata menggusur yang terasa kasar dan tidak diplomatis. Contoh lain misalnya, kata mengamankan digunakan untuk menggantikan kata memenjarakan; kata memberhentikan dengan hormat digunakan untuk menggantikan kata memecat.

4) Propaganda

Contoh:

36 kader PPP di Serang, Jabar hijrah. Kata hijrah digunakan untuk menggantikan kata kata pergi atau pindah agar terlihat tidak biasa.

5) Menyembunyikan maksud

Contoh:

Menteri Agama membantah ada penggelapan bunga ONH di departemennya. Kata penggelapan digunakan untuk menggantikan kata korupsi.

Para pengusaha akan melakukan penyesuaian upah. Penyesuaian upah digunakan untuk menggantikan pemotongan gaji yang berarti mengurangi pendapatan pegawai.

Parpol simpan dana siluman (B Post,1 Juni 2009). Penggunaan kata dana siluman merujuk pada dana yang tidak dijelaskan asal-usulnya, apakah dana dari hasil yang benar atau merupakan suap atau penyelewengan.

6) Mengejek pihak lain

Contoh:

Pihak Kanwil Departemen Agama Jabar terpaksa mengembalikan puluhan surat sakti dari sejumlah pejabat. Kata surat sakti digunakan untuk menggantikan kata surat katebelece ’surat yang bisa membuat sebuah keputusan atau kebijakan pemerintah dapat berubah’.

Selain enam tujuan tersebut, eufemisme juga bertujuan untuk:

7) Menunjukkan solidaritas

Contoh:

Saudaranya baru diPHK dari pekerjaannya. Kata PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) digunakan untuk memperhalus kata pemecatan.

Bapaknya dalam keadaan kritis. Penggunaan kata dalam keadaan kritis untuk menggantikan kata akan segera mati yang artinya kurang menunjukkan rasa solidaritas.

8) Meningkatkan pencitraan

Contoh:

Mantan gubernur itu kini menghuni hotel prodeo akibat perbuatan korupnya saat menjabat gubernur.

Kata hotel prodeo digunakan untuk menggantikan kata penjara. Hotel sendiri adalah tempat penginapan yang relatif bagus, penjara diibaratkan hotel untuk meningkatkan citra penjara karena banyak mantan pejabat dan pengusaha yang masuk ke dalamnya.

Penggunaan istilah dalam bahasa Inggris dalam penggunaan bahasa Indonesia juga berfungsi untuk meningkatkan pencitraan dan gengsi (harga diri). Misalnya untuk menyatakan perumahan diganti real estate, untuk menyatakan pertokoan diganti mall, untuk menyatakan tempat peristirahatan diganti resort.

Ada anggapan sekelompok kecil pengguna bahasa yang menyatakan eufemisme merefleksikan ketidakterbukaan atau ketidakjujuran dalam menyatakan realitas yang terjadi. Anggapan ini datang dari orang-orang yang kurang paham dalam mengikuti kaidah berbahasa dan pergaulan sosial. Seorang pakar bahasa bidang pengajaran bahasa (Davies,1982) menyatakan bahwa orang dikatakan menguasai bahasa, apabila memperlihatkan tiga kemampuan: 1) ketepatan kaidah (accuracy); 2) kelancaran (fluency); 3) kesesuaian berbahasa dengan situasi (appropriateness). Kemampuan menggunakan eufemisme sangat diperlukan agar terjadi kesesuaian berbahasa dengan situasi komunikasi. Selain itu, sebagai suatu sikap berbahasa, eufemisme menunjukkan kreativitas dan prinsip kesantunan dalam berbahasa. Setiap pengguna bahasa, selain harus menguasai bahasa ia juga terikat pada norma atau aturan masyarakat yang menuntut pengguna bahasa untuk menghormati orang lain, orang tua, dan atasan. Jadi, anggapan bahwa eufemisme lebih banyak digunakan untuk menutupi hal yang buruk atau menyembunyikan maksud tidak sepenuhnya benar.

5. Penutup

Eufemisme dalam berbahasa Indonesia merupakan sebuah rekayasa makna asosiatif, makna asosiatif sendiri terjadi karena perubahan sikap penutur terhadap makna suatu kata karena adanya perubahan sosial dan budaya. Makna asosiatif sebenarnya makna yang kurang stabil karena semua tergantung dari pandangan para pengguna bahasa secara diakronik, dimana suatu saat bisa berubah. Jadi, eufemisme merupakan sikap berbahasa yang melibatkan konteks dan sosial budaya masyarakat pengguna bahasa.

Rabu, 24 Juni 2009

puisi

Amir Hamzah

BERDIRI AKU

Berdiri aku di senja senyap

Camar melayang menepis buih

Melayah bakau mengurangi puncak

Menjulang datang ubur terkembang

Angin pulang menyejuk bumi

Menepuk teluk mengempas emas

Lari ke gunung memuncak sunyi

Berayun-ayun di atas alas

Benang raja mencelup ujung

Naik marak mengerak corak

Elang leka saying tergulung

Dimabuk warna berarak-arak

Dalam rupa mahasempurna

Rindu-sendu mengharu kalbu

Ingin datang merasa sentausa

Menyecap hidup bertentu tuju

Chairil Anwar

SENJA DI PELABUHAN KECIL

buat Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa
erdekap

1946

Pelabuhan Sebelum Pasang

Sajak Taufiq Ismail

Jika kau bertanya, kesepian, maka lautlah jawabku

Jika kau menyapa, kesedihan, maka topanlah ujarku

Pelayaran panjang yang mengantarkan kita

Dalam gelombang benua

Di kuala perairan, ketika malam sangat muda

Lentera tiang palka, di ruang makan dan buritan

Gemetaran dalam garis putus-putus di pelabuhan

Anak arus yang naik dan turun pelahan

Menjelang pelayaran bila badai berbadai

Bercurahan bintang di langit bersemu biru

Gemulung mendung yang menyarankan napas gelombang

Guruh lagumu, wahai pelayaran yang panjang!

Karena kau bertanya, tiga peluit di tiap pelabuhan

Setiap kita bertolak kembali mengemas jangkar tali-temali

Adalah jurang-jurang lautan dengan kandil bintang selatan

Bertetaplah ngembara untuk pelayaran panjang sekali.

1964

(Dari Sajak Ladang Jagung, Budaya Djaya, Jakarta, 1973)


Senin, 15 Juni 2009

Melihat ke Depan

perjuangan seorang anak kecil yang biasa membantu ibunya berjualan kue keliling. dia bertekad merubah nasib hidupnya dan akhirnya ia berhasil meraih cita-citanya. dengan cara apa?

Kamis, 11 Juni 2009

Demokrasi Tololversi Saridin dari Emha AN

Demokrasi Tolol versi Saridin

Saridin bukan tidak sadar dan bukan tanpa perhitungan kenapa dia milih nyantri ke pondoknya Sunan Kudus. Saridin itu tipe seorang murid yang cerdas dan mengerti apa yang dilakukannya.

Harap dimengerti murid itu bukan padanan kata dari siswa atau student, sebagaimana manusia zaman modern memaknainya secara total. Memang manusia dalam kebudayaan dan peradaban modern kerjanya selalu melawak, tapi mereka tidak pernah sadar bahwa mereka melawak. Mereka lucu, dan bahkan sangat lucu karena mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka lucu.

Coba lihat saja. Di dunia modern ada yang namanya universitas. Wah gagahnya bukan main lembaga pendidikan tertinggi ini. Penuh gengsi dan keangkuhan. Kalau sudah lulus darinya, orang disebut “sarjana”.

Padahal sesungguhnya Saridin membuktikan sendiri bahwa para pelaku lembaga pendidikan dunia modern universitas dengan pemahaman bahwa yang diproduksi adalah manusia universitas.

Padahal nanti para sarjana keluaran universitas itu kualitas dan cakrawala pandangnya tak lebih dari manusia fakultatif. Anak-anak didik yang usianya sudah dewasa ini tetap kanak-kanak sampai tua, karena sudah bertahun-tahun di universitas masih saja terbuntu di kualitas fakultatif atau bahkan jurusan.

Apa begitu itu namanya kata Saridin, kalau bukan ndagel.

Kalau remaja-remaja itu berangkat ke universitas, ngakunya pergi kuliah. Istilah itu dari bahasa Arab: kulliyah, artinya suatu keberangkatan intelektual, mental, spiritual, dan moral menuju taraf kosmopolitanisme.

Segi lawakannya menurut Saridin terletak pada kenyataan bahwa sebenarnya mereka bukan berangkat kuliah, melainkan berangkat juz’iyyah. Ya yang diterangkan di atas tadi: juz’iyyah itu artinya memahami sesuatu secara sektoral, secara fakultatif, dan parsial.

Seandainya mereka bukan pelawak, tentu setiap keberangkatan juz’iyyah akan selalu pada akhirnya dioreintasikan atau dikembalikan lagi ke spectrum kulliyah atau menjadi habitat utama budaya pendidikan manusia modern, maka hasilnya adalah kesempitan.

Umumnya kalau mereka disodori pakaian oleh Saridin dan ditanyakan pada mereka, “Apa ini?” Celana. “Ini cawat”, atau “Ini dasi”.

Mereka tidak pernah menjawab, “Ini kain, ini benang,” Ini kapas,” “Ini serat-serat,” atau mungkin “Ini kerjasama antara alam ciptaan Tuhan dan teknologi.” Pendeknya pada kesimpulan Saridin, jangkauan ilmu mereka atau dangkalnya ilmu pengetahuan mereka hanya bias diterangkan melalui ndagel.

Kalau pembicaraan kita sampai pada soal “dasi” atau “sepatu”, yang merupakan cirri terpenting dari eksistensi manusia modern, lebih terasa lagi lawakannya. Kalau sudah mengingat itu, Saridin tersengguk-sengguk karena tawa dan tangisnya menjadi satu keluar dari mulut dan matanya. Dasi itu menurut pemahaman Saridin adalah benda yang benar-benar tidak bias dipahami apa kegunaannya, kecuali untuk bersiap-siap kalau sewaktu-waktu pemakainya ingin kendat atau bunuh diri dengan cara menggantung diri atau menjerat leher.

Kebudayaan manusia modern selalu menjelaskan dasi dalam konteks sopan santun, kepribadian kelas menengah, dan lain sebagainya. Itu semua pada penglihatan Saridin benar-benar abstrak. Bagaimana mungkin kepribadian dikaitkan apalagi ditentukan oleh seutas kain yang dikaitkan mengelilingi leher. Benar-benar sangat lucu. Saridin khawatir, Tuhan sendiri bias geleng-geleng kepala karena kelucuan dasi itu tingkatannya benar-benar rendah. Kepribadian itu masalah software, soal batin, mutu nilai yang rohaniah sifatnya. Kok dilawakkan melalui seutas tali dasi. Alangkah tidak bermutunya lawakan manusia modern.

Apalagi masalah sepatu. “Pakailah sepatu!” kata Saridin menirukan seseorang yang pernah di dengarnya di abad 20. “ Agar kakimu terlindung dari duri dan kerikil di jalan.” Padahal para pemakai sepatu justru cenderung menolak untuk berjalan di jalanan. Mereka justru lebih sering melangkahkan kaki di lantai yang pakai karpet tebal dan empuk. Lantas seseorang itu melanjutkan – “tapi sebelum pakai sepatu, pakailah dulu kaus kaki, untuk melindungi kakimu dari sepatu, agar tidak mlicet. Disinilah, menurut studi Saridin, puncak lawakanya. Orang yang disuruh pakai sepatu dan kaus kaki pasti kebingungan. “Jadi sebenarnya, sepatu ini melindungi kaki atau mengancam kaki, sehingga kaki harus dilapisi dengan kaus kaki?”

Oleh karena itu, sejak abad 16 Saridin sudah sadar untuk tak diranjau oleh kebodohan yang canggih atau kepandaian yang ndagel versi kebudayaan modern. Maka ia mateg aji menjadi murid. Murid itu kata subyek yang berasal dari kata kerja arada, yuridu, muridan. Artinya seseorang yang berkehendak. Ingat kata iradat Tuhan? Artinya kehendak Tuhan. Saridin menjadi muridnya Sunan Kudus karena ia sendiri yang berkehendak untuk itu. Juga ia sendiri yang berkehendak, atau menjadi subjek yang menghendaki segala macam yang menyangkut ilmu dan pengalaman hidup yang akan didalaminya dari Sang Sunan. Dengan kata lain, sesungguhnya Saridin sendiri yang menyusun kurikulum kesantiannya. Itu namanya murid. Kalau seseorang dating ke pesantren atau sekolah lantas pasrah bongkokan dan mulutnya menganga melulu menunggu apa saja terapan kurikulum yang disediakan itu, itu namanya murad. Artinya orang yang dikehendaki.

Memang pesantrenya Sunan Kudus sudah memiliki kurikulum, system pendidikan dan metode pengajaran tersendiri. Tetapi itu sekedar bahan dan masukan bagi Saridin. Tetapi si Saridin sendiri yang kemudian mengatur dan menguasai kurikulum itu di dalam dirinya sendiri.

Jadi pada hakekatnya pesantren Saridin terletak di dalam otaknya Saridin. Sekolah Saridin berdiri di dalam hitungan akal sehat Saridin sendiri. Universitas Saridin berlangsung di dalam metode dan proses belajar atau kaifiyah intelektual-spiritual Saridin sendiri. Itu sebabnya ia sungguh-sungguh seorang murid.

Menurut pandangan Saridin, sikap menjadi murid adalah perwujudan demokrasi pendidikan. Kalau ia hanya murad, ia menyediakan diri untuk ditindas. Padahal Saridin tahu, dalam Islam, orang dilarang menindas, dan lebih dilarang lagi untuk bersedia ditindas. Tapi jangan lupa, pengetahuan tentang demokrasi itu pasti Saridin ambil dari dunia modern juga. Jadi jangan seratus persen percaya kalau Saridin sendiri begitu mbagusi ketika mentertawakan dunia modern. Sebab sesungguhnya ia juga banyak belajar kepada segala sesuatu mengenai modernitas dan modernisme.

Bahkan ada bulan-bulan dimana ia salah menerapkan prinsip demokrasi ketika mengikuti pengajaran dan pendidikan yang diselenggarakan oleh Sunan Kudus. Ketika Sang Sunan meminta Saridin membuktikan hapalan Qur’aannya, satu juz saja, di depan para santri lainnya – dengan mantap ia menjawab,” Sunan, adalah hak asazi saya ujntuk memilih apakah saya perlu menghapalkan Qur’an atau tidak.”

Demokrasi, bagi Saridin ketika itu, bertitik berat pada prinsip hak asazi manusia. Ketika ia diminta mempraktekkan jurus jalan panjang ketika dilatih silat, Saridin juga menjawab,” Saya sendirilah yang berwenang untuk mempraktekkan atau tidak mempraktekkan jurus itu sekarang. Tidak seorangpun bias memaksa saya.” Tapi belum selesai kalimatnya, Sunan Kudus mendadak menghampirinya dan menyerbunya dengan berbagai jurus. Saridin kepontak-pontak, pontang-panting, terjatuh-jatuh, terluka, keseleo.

“Kalau kamu tidak sanggup jadi pendekar, jangan bersembunyi di balik kata demokrasi!” kata Sunan Kudus sambil mencengkeram leher Saridin yang terengah-engah.

Rabu, 10 Juni 2009

BUAH KERINDUAN

Gandi menggiggit bibirnya, sudah seharian ia berputar-putar di lampu merah, baru beberapa korannya yang terjual. Kadang terbetik juga keinginan untuk mengemis seperti teman-temannya. Hanya dengan modal menadahkan tangan, ia akan mendapatkan sejumlah uang yang lumayan untuk makan dan membeli baju. Tapi ia selalu ingat pesan Mbak Dewi, bahwa mengemis adalah pekerjaan yang hina di mata Allah. Ia lebih rela keletihan dan kelaparan daripada menghinakan diri. Biar keadaannya demikian, ia merasa lebih memiliki harga diri dan kehormatan.

Hidup di kota maupun di pelosok desa, bagi Gandi sama saja bila kita hanya menjadi orang miskin. Orang akan selalu meremehkan bahkan kadang menuduh kita pencuri. Sebagai orang miskin Gandi harus ikhlas. Tapi bukan Gandi namanya bila ia hanya berpangku tangan menghadapi kemiskinan keluarganya.

Sudah setahun ini ia terlunta-lunta di Jakarta. Mulanya ia berniat menyusul ibunya yang bekerja sebagai pembantu. Berangkat bersama pamannya dengan hati gembira Gandi tak menyangka kejadian buruk siap menerkamnya. Pertama setiba di terminal Pulo Gadung yang ramai, Gandi dan pamannya telah kehilangan tasnya. Saat pamannya hendak mengejar pencopet itu, justru pamannya tertabrak sebuah mobil. Untunglah sang penabrak orangnya baik, ia membiayai ongkos pengobatan pamannya dan memberi uang untuk ongkos pulang ke desa. Namun karena sudah berniat mencari ibunya, Gandi dan pamannya tak kembali ke kampung. Karena alamat ibunya hilang bersama tasnya, Gandi dan pamannya menuju tempat Kodir, teman pamannya yang telah lebih dahulu ke Jakarta.

Paman Gandi memang pernah kerja bersama Paman Kodir di Jakarta, namun karena Paman Gandi merasa tidak betah bekerja di kota ia kembali ke desa. Ia kembali ke Jakarta lagi karena mengantarkan Gandi untuk menemui ibunya. Selain itu, di desa mereka tinggal, rumah petak yang mereka tinggali, telah terendam lumpur dari sebuah perusahaan pengeboran minyak. Mereka kini tak punya tempat tinggal lagi. Bahkan beberapa saudaranya ada yang meninggal karena sakit dan ada yang dibawa ke rumah sakit jiwa. Jadilah, Gandi dan pamannya menumpang di tempat Paman Kodir, namun mereka tidak hanya berpangku tangan, paman mencari pekerjaan di proyek bangunan yang kebetulan sedang membutuhkan pekerja tambahan. Sementara itu, Gandi sangat beruntung karena bertemu dengan Bang Didit, agen koran tetangga Paman Kodir, Bang Didit menawari pekerjaan untuk menjajakan korannya, maka jadilah Gandi penjual koran. Ia biasa berjualan di pinggir jalan atau di lampu merah. Sepanjang hari pula ia selalu mengamati orang-orang yang lalu lalang di jalan, kadang terbersit dalam angannya, bahwa salah satu orang yang lalu-lalang itu adalah ibunya. Tapi ia selalu kecewa, karena ia tak melihat raut muka ibunya di antara mereka.

Meski kecewa karena usahanya belum ada hasilnya, Gandi mendapat pencerahan dan sedikit kebahagiaan ketika ia bertemu dengan Mbak Dewi di sebuah halte. Mbak Dewi adalah seorang relawan di sekolah kolong jembatan yang mengajari anak-anak jalanan berbagai macam pengetahuan, termasuk pengajaran agama, secara gratis. Mbak Dewi tersentuh melihat Gandi, karena menurutnya Gandi mengingatkanya pada seseorang. Dari Mbak Dewilah Gandi belajar tentang ilmu-ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan. Gandi sering terkagum-kagum dengan Mbak Dewi, selain pintar ia sangat cantik dan santun, penampilannya selalu tertutup oleh baju terusan panjang dan kerudung yang serasi. Gandi sering membayangkan seandainya ibunya berpenampilan seperti Mbak Dewi. Gandi sering tersenyum geli jika membayangkan hal itu. Bukankah ibunya hanya orang kampung yang berpendidikan rendah.

Setelah sekian lama ia berdiri di sekitar lampu merah, Gandi merasa bosan karena baru sedikit koran yang terjual, tidak seperti biasanya. Mungkin hari ini orang tidak banyak tertarik dengan berita karena tidak ada kejadian yang istimewa.

”Ah............,” Gandi mendesah perlahan. Karena kebosanan tersebut Gandi memutuskan berteduh di toko swalayan di seberang jalan. Dengan gesit ia menyeberang dan sebentar saja telah sampai di depan toko swalayan itu. Banyak kawan-kawannya sesama anak jalanan mangkal di sekitar tempat tersebut. Namun bukan itu yang menjadi perhatian Gandi. Di antara orang-orang yang lalu-lalang di depan toko swalayan tersebut, ia seperti melihat wajah ibunya, berjalan dengan seorang wanita cantik mirip Mbak Dewi. Tapi, sejak kapan ibunya berkerudung rapat seperti Mbak Dewi? Lalu siapa wanita yang mirip Mbak Dewi tersebut. Pikiran Gandi memutar, namun ia baru menyadari ketika kedua wanita itu berjalan menuju sebuah mobil. Gandi secepat kilat berpikir, barangkali itu ibunya. Lalu ia setengah berlari mendekati mobil yang hampir melaju. ”Ibu..........................!” Gandi setengah berteriak, namun deru mobil di sekitar toko swalayan itu menelan suaranya. Ia hanya terpana dan samar-samar ia mengingat nomor mobil itu B 2997 NK.

Gandi lalu berjalan dengan lesu menuju teman-temannya di pojok toko itu. Ia berusaha menenangkan hati. Mungkin ia sangat merindukan ibunya, sehingga bayangan orang lain terasa seperti ibunya. Tapi wanita yang seperti Mbak Dewi? Apakah itu saudara Mbak Dewi? Adakah suatu kebetulan jika ia melihat dua wanita yang mirip ibunya dan mirip Mbak Dewi? Kedua wanita itu memang sangat berkesan di hati Gandi? Tapi membayangkan mereka berjalan beriringan adalah pemandangan yang menyenangkan. Gandi tersenyum kecut memikirkan khayalannya sendiri.

Ternyata, hari itu Gandi tidak terlalu bernasib buruk. Ada beberapa koran yang terjual di depan toko swalayan tersebut. Ketika hari terik, Gandi memutuskan istirahat sejenak dan melakukan sembahyang lohor di masjid dekat toko tersebut. Setelah itu ia akan menuju terminal dan menjelang sore ke tempat Bang Didit untuk menyerahkan uang hasil penjualan koran hari itu dan sisa koran yang tidak terjual jika ada.

Namun menjelang tidur, Gandi masih memikirkan wanita berkerudung di depan toko swalayan itu. Ia masih berpikir, bagaimana seandainya wanita itu adalah ibunya? Tapi bagaimana ia tahu, wanita itu tinggal dimana. Mobil itu? Bagaimana ia menjumpai mobil itu lagi? Jakarta kan begitu luas dan begitu banyak mobil. Nomor mobil itu berapa ya, rasanya B 29..........NK. 29 .......... berapa ya? Gandi berpikir keras, tapi hanya itu yang bisa diingat, kemudian ia meraih kertas dan pensil dan menuliskan nomor yang diingatkan tersebut. Kemudian sedikit matanya berbinar, ia berpikir tentang sesuatu. Bagaimana kalau ia rajin menunggu di toko swalayan tersebut pada jam yang sama, siapa tahu kalau beruntung ia akan bertemu dengan kedua wanita itu lagi atau paling tidak salah satunya.

Akhirnya selama satu minggu ditunggu di toko swalayan itu, Gandi tak juga bertemu wanita itu. Ia hampir putus asa, tapi ia tetap memutuskan untuk menunggu di toko swalayan itu sampai ia bertemu wanita itu, atau paling tidak melihat mobil itu? Tiba-tiba matanya terperanjat melihat sebuah mobil membelok ke arah toko swalayan tersebut. Mobil itu bernomor B 2997 NK. Apakah mobil itu ya? Ia mengamati mobil tersebut, ia lebih terperanjat ketika melihat wanita yang keluar dari mobil tersebut. Mbak Dewi? Bagaimana mungkin? Sebelum ia sempat berpikir lama ia sudah dikagetkan dengan sapaan Mbak Dewi.

” Eh, Gandi! Assalamu’alaikum! Kamu lagi jualan koran di sini?” tanya Mbak Dewi sambil tersenyum.

” I...i....ya, Mbak,” jawab Gandi sambil terbata.

Mbak Dewi jadi heran, lalu setengah selidik ia bertanya,” Ei! Kamu kenapa? Sepertinya ada sesuatu yang membuatmu heran dan terkejut.”

”Memang betul, Mbak! ” jawab Gandi berterus terang. Lalu Mbak Dewi mengajak Gandi ke sebuah warung kecil di sebelah toko swalayan itu untuk mendengarkan cerita kegundahan Gandi tersebut. Gandi memulainya dari tujuan ia datang ke Jakarta dan kejadian yang menimpanya sampai ia melihat dua orang wanita yang mirip ibunya dan Mbak Dewi muncul di toko swalayan itu.

Mbak Dewi mendengar dengan seksama. Lalu setengah berpikir ia berkata,” Wanita yang mbak ya yang punya mobil ini Gandi. Namanya Mbak Sari, itu memang kakak Mbak Dewi, kalau wanita yang mirip ibunya itu apa Bik Ati ya? Siapa nama ibumu?”

Gandi berbinar, ” Nama ibu saya Sumiati, Mbak.” Mbak Dewi tersenyum, lalu,” Gandi, mungkin saja itu ibumu, pembantu kakakku memang namanya Bik Ati mungkin kependekan dari Sumiati. Mbak Dewi juga kurang tahu, untuk memastikan bagaimana kalau kamu ikut Mbak Dewi ke tempat kakak Mbak Dewi. Setuju?” Hati Gandi bersorak, ia merasa sudah dekat dengan ibunya. Lalu dengan girang ia menjawab,” Setuju, Mbak!” tetapi, kemudian Mbak Dewi berpikir, ” Iya tapi kamu tunggu dulu! Mbak Dewi mau belanja dulu, ya?” kata Mbak Dewi sambil tersenyum. Gandi mengangguk hormat dengan hati senang.

Setelah setengah jam menunggu Mbak Dewi belanja, Gandi kemudian meluncur dengan modil sedan B 2997 NK menuju rumah kakak Mbak Dewi. Gandi berdebar-debar, ia berdoa semoga orang yang berada di tempat kakak Mbak Dewi adalah ibunya. Jika hal itu benar................ia akan menjadi orang yang paling bahagia.

Setengah ragu, Gandi mengikuti Mbak Dewi menuju ruang tamu sebuah rumah besar yang sangat bersih dan rapi. Samar-samar terdengar suara bayi menangis. Mbak Dewi memandang Gandi,” Itu suara keponakan Mbak Dewi. Gandi! Kamu duduk dulu! Mbak panggilkan dulu Bik Ati, ya? Semoga Allah mempertemukan kamu dengan ibumu,” kata Mbak Dewi sambil berjalan menuju ke dalam ruangan rumah itu.

Gandi memandang sekeliling ruang tamu, ia melihat ruangan yang begitu bagus dan bersih, jauh sekali dengan ruang tamu di tempat Paman Kodir. Ia menjadi geli memikirkan hal itu, bagaimana mungkin rumah kumuh dibandingkan dengan rumah mewah. Saat Gandi asyik memandangi ruang tamu tersebut, pandangannya terhenti pada suara langkah kaki seseorang. Betapa kagetnya ia melihat seraut wajah yang selama ini dirindukannya.

”Ibu.....! Apakah ini benar Ibu?” Gandi berteriak sambil menghampiri wanita yang baru saja hadir di ruang tamu itu. Wanita itu pun berkaca-kaca dan berteriak, ” Gandi? Kaukah itu?” Ia berlari dan memeluk Gandi. Sambil menangis, ia berkata,” Ibu mencarimu dari Renokenongo sampai Jatiwates. Ibu juga mendatangi Pasar Porong, siapa tahu ada kamu di sana. Kata orang kamu sama pamanmu ke Jakarta, tapi ndak tahu alamatnya. Bagaimana ibu mau mencarimu? Dulu ibu menunggumu waktu kamu bilang mau ke Jakarta.”

Gandi melepaskan kerinduan pada ibunya. Setahun lebih rasanya seperti lama sekali. Kemudian ia menceritakan awal kedatangannya ke Jakarta. Ibunya mendengarkan sambil membelai rambut Gandi. Ia mengerti dan bersyukur karena pada akhirnya nasib mempertemukan mereka kembali dalam waktu yang tidak begitu lama.

Ketika Gandi dan ibunya asyik melepaskan rindu, tiba-tiba Mbak Dewi yang sedari tadi memperhatikan dua orang ibu dan anak itu, datang dengan membawa dua cangkir teh manis. Ia tersenyum dan menepuk pundak Gandi,” Bersyukurlah pada Allah dengan syukur yang banyak! Karena Ia tak membiarkan kesedihanmu berkepanjangan.” Gandi mengangguk, ia berkata,” Terima kasih Mbak Dewi! Mbak telah memberikan banyak hal pada saya, ilmu sekaligus kebahagiaan.” Mbak Dewi mengangguk pula, lalu,” Ini semua takdir! Mbak hanya menjalankan yang semestinya.” Lalu saat Gandi dan ibunya bersyukur dan mendoakan kebaikan bagi Mbak Dewi, dengan takzim Mbak Dewi mengamini. ***

Susanti

Email: susanti_uci@yahoo.co.id

Sajak-sajak Susanti SS

Sang Penghibur

Seulas senyum dalam balutan malam

Menghampiri setiap hati yang menahan rindu

Menunggu cinta atau melupakan cinta

Lambaiannya

Desah merdunya

Menghadirkan asa sesaat

Yang meletup-letup di sudut kalbu

Tak terucap kata risau meski hatinya galau

Tak terpancar wajah sayu meski hatinya layu

Ia juga rindu

Ia juga menunggu

Tapi siapa yang tahu?

Seulas senyum dengan suara merdu

Menyapa malam yang tak lagi syahdu

dan menghibur banyak hati yang ragu

Seulas senyum penghibur duka

Ada bersama setumpuk luka

Seulas senyum sang penghibur

Tanda lara tak lagi berasa

Batola, 18 Maret 09