Rabu, 24 Juni 2009

puisi

Amir Hamzah

BERDIRI AKU

Berdiri aku di senja senyap

Camar melayang menepis buih

Melayah bakau mengurangi puncak

Menjulang datang ubur terkembang

Angin pulang menyejuk bumi

Menepuk teluk mengempas emas

Lari ke gunung memuncak sunyi

Berayun-ayun di atas alas

Benang raja mencelup ujung

Naik marak mengerak corak

Elang leka saying tergulung

Dimabuk warna berarak-arak

Dalam rupa mahasempurna

Rindu-sendu mengharu kalbu

Ingin datang merasa sentausa

Menyecap hidup bertentu tuju

Chairil Anwar

SENJA DI PELABUHAN KECIL

buat Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa
erdekap

1946

Pelabuhan Sebelum Pasang

Sajak Taufiq Ismail

Jika kau bertanya, kesepian, maka lautlah jawabku

Jika kau menyapa, kesedihan, maka topanlah ujarku

Pelayaran panjang yang mengantarkan kita

Dalam gelombang benua

Di kuala perairan, ketika malam sangat muda

Lentera tiang palka, di ruang makan dan buritan

Gemetaran dalam garis putus-putus di pelabuhan

Anak arus yang naik dan turun pelahan

Menjelang pelayaran bila badai berbadai

Bercurahan bintang di langit bersemu biru

Gemulung mendung yang menyarankan napas gelombang

Guruh lagumu, wahai pelayaran yang panjang!

Karena kau bertanya, tiga peluit di tiap pelabuhan

Setiap kita bertolak kembali mengemas jangkar tali-temali

Adalah jurang-jurang lautan dengan kandil bintang selatan

Bertetaplah ngembara untuk pelayaran panjang sekali.

1964

(Dari Sajak Ladang Jagung, Budaya Djaya, Jakarta, 1973)


Senin, 15 Juni 2009

Melihat ke Depan

perjuangan seorang anak kecil yang biasa membantu ibunya berjualan kue keliling. dia bertekad merubah nasib hidupnya dan akhirnya ia berhasil meraih cita-citanya. dengan cara apa?

Kamis, 11 Juni 2009

Demokrasi Tololversi Saridin dari Emha AN

Demokrasi Tolol versi Saridin

Saridin bukan tidak sadar dan bukan tanpa perhitungan kenapa dia milih nyantri ke pondoknya Sunan Kudus. Saridin itu tipe seorang murid yang cerdas dan mengerti apa yang dilakukannya.

Harap dimengerti murid itu bukan padanan kata dari siswa atau student, sebagaimana manusia zaman modern memaknainya secara total. Memang manusia dalam kebudayaan dan peradaban modern kerjanya selalu melawak, tapi mereka tidak pernah sadar bahwa mereka melawak. Mereka lucu, dan bahkan sangat lucu karena mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka lucu.

Coba lihat saja. Di dunia modern ada yang namanya universitas. Wah gagahnya bukan main lembaga pendidikan tertinggi ini. Penuh gengsi dan keangkuhan. Kalau sudah lulus darinya, orang disebut “sarjana”.

Padahal sesungguhnya Saridin membuktikan sendiri bahwa para pelaku lembaga pendidikan dunia modern universitas dengan pemahaman bahwa yang diproduksi adalah manusia universitas.

Padahal nanti para sarjana keluaran universitas itu kualitas dan cakrawala pandangnya tak lebih dari manusia fakultatif. Anak-anak didik yang usianya sudah dewasa ini tetap kanak-kanak sampai tua, karena sudah bertahun-tahun di universitas masih saja terbuntu di kualitas fakultatif atau bahkan jurusan.

Apa begitu itu namanya kata Saridin, kalau bukan ndagel.

Kalau remaja-remaja itu berangkat ke universitas, ngakunya pergi kuliah. Istilah itu dari bahasa Arab: kulliyah, artinya suatu keberangkatan intelektual, mental, spiritual, dan moral menuju taraf kosmopolitanisme.

Segi lawakannya menurut Saridin terletak pada kenyataan bahwa sebenarnya mereka bukan berangkat kuliah, melainkan berangkat juz’iyyah. Ya yang diterangkan di atas tadi: juz’iyyah itu artinya memahami sesuatu secara sektoral, secara fakultatif, dan parsial.

Seandainya mereka bukan pelawak, tentu setiap keberangkatan juz’iyyah akan selalu pada akhirnya dioreintasikan atau dikembalikan lagi ke spectrum kulliyah atau menjadi habitat utama budaya pendidikan manusia modern, maka hasilnya adalah kesempitan.

Umumnya kalau mereka disodori pakaian oleh Saridin dan ditanyakan pada mereka, “Apa ini?” Celana. “Ini cawat”, atau “Ini dasi”.

Mereka tidak pernah menjawab, “Ini kain, ini benang,” Ini kapas,” “Ini serat-serat,” atau mungkin “Ini kerjasama antara alam ciptaan Tuhan dan teknologi.” Pendeknya pada kesimpulan Saridin, jangkauan ilmu mereka atau dangkalnya ilmu pengetahuan mereka hanya bias diterangkan melalui ndagel.

Kalau pembicaraan kita sampai pada soal “dasi” atau “sepatu”, yang merupakan cirri terpenting dari eksistensi manusia modern, lebih terasa lagi lawakannya. Kalau sudah mengingat itu, Saridin tersengguk-sengguk karena tawa dan tangisnya menjadi satu keluar dari mulut dan matanya. Dasi itu menurut pemahaman Saridin adalah benda yang benar-benar tidak bias dipahami apa kegunaannya, kecuali untuk bersiap-siap kalau sewaktu-waktu pemakainya ingin kendat atau bunuh diri dengan cara menggantung diri atau menjerat leher.

Kebudayaan manusia modern selalu menjelaskan dasi dalam konteks sopan santun, kepribadian kelas menengah, dan lain sebagainya. Itu semua pada penglihatan Saridin benar-benar abstrak. Bagaimana mungkin kepribadian dikaitkan apalagi ditentukan oleh seutas kain yang dikaitkan mengelilingi leher. Benar-benar sangat lucu. Saridin khawatir, Tuhan sendiri bias geleng-geleng kepala karena kelucuan dasi itu tingkatannya benar-benar rendah. Kepribadian itu masalah software, soal batin, mutu nilai yang rohaniah sifatnya. Kok dilawakkan melalui seutas tali dasi. Alangkah tidak bermutunya lawakan manusia modern.

Apalagi masalah sepatu. “Pakailah sepatu!” kata Saridin menirukan seseorang yang pernah di dengarnya di abad 20. “ Agar kakimu terlindung dari duri dan kerikil di jalan.” Padahal para pemakai sepatu justru cenderung menolak untuk berjalan di jalanan. Mereka justru lebih sering melangkahkan kaki di lantai yang pakai karpet tebal dan empuk. Lantas seseorang itu melanjutkan – “tapi sebelum pakai sepatu, pakailah dulu kaus kaki, untuk melindungi kakimu dari sepatu, agar tidak mlicet. Disinilah, menurut studi Saridin, puncak lawakanya. Orang yang disuruh pakai sepatu dan kaus kaki pasti kebingungan. “Jadi sebenarnya, sepatu ini melindungi kaki atau mengancam kaki, sehingga kaki harus dilapisi dengan kaus kaki?”

Oleh karena itu, sejak abad 16 Saridin sudah sadar untuk tak diranjau oleh kebodohan yang canggih atau kepandaian yang ndagel versi kebudayaan modern. Maka ia mateg aji menjadi murid. Murid itu kata subyek yang berasal dari kata kerja arada, yuridu, muridan. Artinya seseorang yang berkehendak. Ingat kata iradat Tuhan? Artinya kehendak Tuhan. Saridin menjadi muridnya Sunan Kudus karena ia sendiri yang berkehendak untuk itu. Juga ia sendiri yang berkehendak, atau menjadi subjek yang menghendaki segala macam yang menyangkut ilmu dan pengalaman hidup yang akan didalaminya dari Sang Sunan. Dengan kata lain, sesungguhnya Saridin sendiri yang menyusun kurikulum kesantiannya. Itu namanya murid. Kalau seseorang dating ke pesantren atau sekolah lantas pasrah bongkokan dan mulutnya menganga melulu menunggu apa saja terapan kurikulum yang disediakan itu, itu namanya murad. Artinya orang yang dikehendaki.

Memang pesantrenya Sunan Kudus sudah memiliki kurikulum, system pendidikan dan metode pengajaran tersendiri. Tetapi itu sekedar bahan dan masukan bagi Saridin. Tetapi si Saridin sendiri yang kemudian mengatur dan menguasai kurikulum itu di dalam dirinya sendiri.

Jadi pada hakekatnya pesantren Saridin terletak di dalam otaknya Saridin. Sekolah Saridin berdiri di dalam hitungan akal sehat Saridin sendiri. Universitas Saridin berlangsung di dalam metode dan proses belajar atau kaifiyah intelektual-spiritual Saridin sendiri. Itu sebabnya ia sungguh-sungguh seorang murid.

Menurut pandangan Saridin, sikap menjadi murid adalah perwujudan demokrasi pendidikan. Kalau ia hanya murad, ia menyediakan diri untuk ditindas. Padahal Saridin tahu, dalam Islam, orang dilarang menindas, dan lebih dilarang lagi untuk bersedia ditindas. Tapi jangan lupa, pengetahuan tentang demokrasi itu pasti Saridin ambil dari dunia modern juga. Jadi jangan seratus persen percaya kalau Saridin sendiri begitu mbagusi ketika mentertawakan dunia modern. Sebab sesungguhnya ia juga banyak belajar kepada segala sesuatu mengenai modernitas dan modernisme.

Bahkan ada bulan-bulan dimana ia salah menerapkan prinsip demokrasi ketika mengikuti pengajaran dan pendidikan yang diselenggarakan oleh Sunan Kudus. Ketika Sang Sunan meminta Saridin membuktikan hapalan Qur’aannya, satu juz saja, di depan para santri lainnya – dengan mantap ia menjawab,” Sunan, adalah hak asazi saya ujntuk memilih apakah saya perlu menghapalkan Qur’an atau tidak.”

Demokrasi, bagi Saridin ketika itu, bertitik berat pada prinsip hak asazi manusia. Ketika ia diminta mempraktekkan jurus jalan panjang ketika dilatih silat, Saridin juga menjawab,” Saya sendirilah yang berwenang untuk mempraktekkan atau tidak mempraktekkan jurus itu sekarang. Tidak seorangpun bias memaksa saya.” Tapi belum selesai kalimatnya, Sunan Kudus mendadak menghampirinya dan menyerbunya dengan berbagai jurus. Saridin kepontak-pontak, pontang-panting, terjatuh-jatuh, terluka, keseleo.

“Kalau kamu tidak sanggup jadi pendekar, jangan bersembunyi di balik kata demokrasi!” kata Sunan Kudus sambil mencengkeram leher Saridin yang terengah-engah.

Rabu, 10 Juni 2009

BUAH KERINDUAN

Gandi menggiggit bibirnya, sudah seharian ia berputar-putar di lampu merah, baru beberapa korannya yang terjual. Kadang terbetik juga keinginan untuk mengemis seperti teman-temannya. Hanya dengan modal menadahkan tangan, ia akan mendapatkan sejumlah uang yang lumayan untuk makan dan membeli baju. Tapi ia selalu ingat pesan Mbak Dewi, bahwa mengemis adalah pekerjaan yang hina di mata Allah. Ia lebih rela keletihan dan kelaparan daripada menghinakan diri. Biar keadaannya demikian, ia merasa lebih memiliki harga diri dan kehormatan.

Hidup di kota maupun di pelosok desa, bagi Gandi sama saja bila kita hanya menjadi orang miskin. Orang akan selalu meremehkan bahkan kadang menuduh kita pencuri. Sebagai orang miskin Gandi harus ikhlas. Tapi bukan Gandi namanya bila ia hanya berpangku tangan menghadapi kemiskinan keluarganya.

Sudah setahun ini ia terlunta-lunta di Jakarta. Mulanya ia berniat menyusul ibunya yang bekerja sebagai pembantu. Berangkat bersama pamannya dengan hati gembira Gandi tak menyangka kejadian buruk siap menerkamnya. Pertama setiba di terminal Pulo Gadung yang ramai, Gandi dan pamannya telah kehilangan tasnya. Saat pamannya hendak mengejar pencopet itu, justru pamannya tertabrak sebuah mobil. Untunglah sang penabrak orangnya baik, ia membiayai ongkos pengobatan pamannya dan memberi uang untuk ongkos pulang ke desa. Namun karena sudah berniat mencari ibunya, Gandi dan pamannya tak kembali ke kampung. Karena alamat ibunya hilang bersama tasnya, Gandi dan pamannya menuju tempat Kodir, teman pamannya yang telah lebih dahulu ke Jakarta.

Paman Gandi memang pernah kerja bersama Paman Kodir di Jakarta, namun karena Paman Gandi merasa tidak betah bekerja di kota ia kembali ke desa. Ia kembali ke Jakarta lagi karena mengantarkan Gandi untuk menemui ibunya. Selain itu, di desa mereka tinggal, rumah petak yang mereka tinggali, telah terendam lumpur dari sebuah perusahaan pengeboran minyak. Mereka kini tak punya tempat tinggal lagi. Bahkan beberapa saudaranya ada yang meninggal karena sakit dan ada yang dibawa ke rumah sakit jiwa. Jadilah, Gandi dan pamannya menumpang di tempat Paman Kodir, namun mereka tidak hanya berpangku tangan, paman mencari pekerjaan di proyek bangunan yang kebetulan sedang membutuhkan pekerja tambahan. Sementara itu, Gandi sangat beruntung karena bertemu dengan Bang Didit, agen koran tetangga Paman Kodir, Bang Didit menawari pekerjaan untuk menjajakan korannya, maka jadilah Gandi penjual koran. Ia biasa berjualan di pinggir jalan atau di lampu merah. Sepanjang hari pula ia selalu mengamati orang-orang yang lalu lalang di jalan, kadang terbersit dalam angannya, bahwa salah satu orang yang lalu-lalang itu adalah ibunya. Tapi ia selalu kecewa, karena ia tak melihat raut muka ibunya di antara mereka.

Meski kecewa karena usahanya belum ada hasilnya, Gandi mendapat pencerahan dan sedikit kebahagiaan ketika ia bertemu dengan Mbak Dewi di sebuah halte. Mbak Dewi adalah seorang relawan di sekolah kolong jembatan yang mengajari anak-anak jalanan berbagai macam pengetahuan, termasuk pengajaran agama, secara gratis. Mbak Dewi tersentuh melihat Gandi, karena menurutnya Gandi mengingatkanya pada seseorang. Dari Mbak Dewilah Gandi belajar tentang ilmu-ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan. Gandi sering terkagum-kagum dengan Mbak Dewi, selain pintar ia sangat cantik dan santun, penampilannya selalu tertutup oleh baju terusan panjang dan kerudung yang serasi. Gandi sering membayangkan seandainya ibunya berpenampilan seperti Mbak Dewi. Gandi sering tersenyum geli jika membayangkan hal itu. Bukankah ibunya hanya orang kampung yang berpendidikan rendah.

Setelah sekian lama ia berdiri di sekitar lampu merah, Gandi merasa bosan karena baru sedikit koran yang terjual, tidak seperti biasanya. Mungkin hari ini orang tidak banyak tertarik dengan berita karena tidak ada kejadian yang istimewa.

”Ah............,” Gandi mendesah perlahan. Karena kebosanan tersebut Gandi memutuskan berteduh di toko swalayan di seberang jalan. Dengan gesit ia menyeberang dan sebentar saja telah sampai di depan toko swalayan itu. Banyak kawan-kawannya sesama anak jalanan mangkal di sekitar tempat tersebut. Namun bukan itu yang menjadi perhatian Gandi. Di antara orang-orang yang lalu-lalang di depan toko swalayan tersebut, ia seperti melihat wajah ibunya, berjalan dengan seorang wanita cantik mirip Mbak Dewi. Tapi, sejak kapan ibunya berkerudung rapat seperti Mbak Dewi? Lalu siapa wanita yang mirip Mbak Dewi tersebut. Pikiran Gandi memutar, namun ia baru menyadari ketika kedua wanita itu berjalan menuju sebuah mobil. Gandi secepat kilat berpikir, barangkali itu ibunya. Lalu ia setengah berlari mendekati mobil yang hampir melaju. ”Ibu..........................!” Gandi setengah berteriak, namun deru mobil di sekitar toko swalayan itu menelan suaranya. Ia hanya terpana dan samar-samar ia mengingat nomor mobil itu B 2997 NK.

Gandi lalu berjalan dengan lesu menuju teman-temannya di pojok toko itu. Ia berusaha menenangkan hati. Mungkin ia sangat merindukan ibunya, sehingga bayangan orang lain terasa seperti ibunya. Tapi wanita yang seperti Mbak Dewi? Apakah itu saudara Mbak Dewi? Adakah suatu kebetulan jika ia melihat dua wanita yang mirip ibunya dan mirip Mbak Dewi? Kedua wanita itu memang sangat berkesan di hati Gandi? Tapi membayangkan mereka berjalan beriringan adalah pemandangan yang menyenangkan. Gandi tersenyum kecut memikirkan khayalannya sendiri.

Ternyata, hari itu Gandi tidak terlalu bernasib buruk. Ada beberapa koran yang terjual di depan toko swalayan tersebut. Ketika hari terik, Gandi memutuskan istirahat sejenak dan melakukan sembahyang lohor di masjid dekat toko tersebut. Setelah itu ia akan menuju terminal dan menjelang sore ke tempat Bang Didit untuk menyerahkan uang hasil penjualan koran hari itu dan sisa koran yang tidak terjual jika ada.

Namun menjelang tidur, Gandi masih memikirkan wanita berkerudung di depan toko swalayan itu. Ia masih berpikir, bagaimana seandainya wanita itu adalah ibunya? Tapi bagaimana ia tahu, wanita itu tinggal dimana. Mobil itu? Bagaimana ia menjumpai mobil itu lagi? Jakarta kan begitu luas dan begitu banyak mobil. Nomor mobil itu berapa ya, rasanya B 29..........NK. 29 .......... berapa ya? Gandi berpikir keras, tapi hanya itu yang bisa diingat, kemudian ia meraih kertas dan pensil dan menuliskan nomor yang diingatkan tersebut. Kemudian sedikit matanya berbinar, ia berpikir tentang sesuatu. Bagaimana kalau ia rajin menunggu di toko swalayan tersebut pada jam yang sama, siapa tahu kalau beruntung ia akan bertemu dengan kedua wanita itu lagi atau paling tidak salah satunya.

Akhirnya selama satu minggu ditunggu di toko swalayan itu, Gandi tak juga bertemu wanita itu. Ia hampir putus asa, tapi ia tetap memutuskan untuk menunggu di toko swalayan itu sampai ia bertemu wanita itu, atau paling tidak melihat mobil itu? Tiba-tiba matanya terperanjat melihat sebuah mobil membelok ke arah toko swalayan tersebut. Mobil itu bernomor B 2997 NK. Apakah mobil itu ya? Ia mengamati mobil tersebut, ia lebih terperanjat ketika melihat wanita yang keluar dari mobil tersebut. Mbak Dewi? Bagaimana mungkin? Sebelum ia sempat berpikir lama ia sudah dikagetkan dengan sapaan Mbak Dewi.

” Eh, Gandi! Assalamu’alaikum! Kamu lagi jualan koran di sini?” tanya Mbak Dewi sambil tersenyum.

” I...i....ya, Mbak,” jawab Gandi sambil terbata.

Mbak Dewi jadi heran, lalu setengah selidik ia bertanya,” Ei! Kamu kenapa? Sepertinya ada sesuatu yang membuatmu heran dan terkejut.”

”Memang betul, Mbak! ” jawab Gandi berterus terang. Lalu Mbak Dewi mengajak Gandi ke sebuah warung kecil di sebelah toko swalayan itu untuk mendengarkan cerita kegundahan Gandi tersebut. Gandi memulainya dari tujuan ia datang ke Jakarta dan kejadian yang menimpanya sampai ia melihat dua orang wanita yang mirip ibunya dan Mbak Dewi muncul di toko swalayan itu.

Mbak Dewi mendengar dengan seksama. Lalu setengah berpikir ia berkata,” Wanita yang mbak ya yang punya mobil ini Gandi. Namanya Mbak Sari, itu memang kakak Mbak Dewi, kalau wanita yang mirip ibunya itu apa Bik Ati ya? Siapa nama ibumu?”

Gandi berbinar, ” Nama ibu saya Sumiati, Mbak.” Mbak Dewi tersenyum, lalu,” Gandi, mungkin saja itu ibumu, pembantu kakakku memang namanya Bik Ati mungkin kependekan dari Sumiati. Mbak Dewi juga kurang tahu, untuk memastikan bagaimana kalau kamu ikut Mbak Dewi ke tempat kakak Mbak Dewi. Setuju?” Hati Gandi bersorak, ia merasa sudah dekat dengan ibunya. Lalu dengan girang ia menjawab,” Setuju, Mbak!” tetapi, kemudian Mbak Dewi berpikir, ” Iya tapi kamu tunggu dulu! Mbak Dewi mau belanja dulu, ya?” kata Mbak Dewi sambil tersenyum. Gandi mengangguk hormat dengan hati senang.

Setelah setengah jam menunggu Mbak Dewi belanja, Gandi kemudian meluncur dengan modil sedan B 2997 NK menuju rumah kakak Mbak Dewi. Gandi berdebar-debar, ia berdoa semoga orang yang berada di tempat kakak Mbak Dewi adalah ibunya. Jika hal itu benar................ia akan menjadi orang yang paling bahagia.

Setengah ragu, Gandi mengikuti Mbak Dewi menuju ruang tamu sebuah rumah besar yang sangat bersih dan rapi. Samar-samar terdengar suara bayi menangis. Mbak Dewi memandang Gandi,” Itu suara keponakan Mbak Dewi. Gandi! Kamu duduk dulu! Mbak panggilkan dulu Bik Ati, ya? Semoga Allah mempertemukan kamu dengan ibumu,” kata Mbak Dewi sambil berjalan menuju ke dalam ruangan rumah itu.

Gandi memandang sekeliling ruang tamu, ia melihat ruangan yang begitu bagus dan bersih, jauh sekali dengan ruang tamu di tempat Paman Kodir. Ia menjadi geli memikirkan hal itu, bagaimana mungkin rumah kumuh dibandingkan dengan rumah mewah. Saat Gandi asyik memandangi ruang tamu tersebut, pandangannya terhenti pada suara langkah kaki seseorang. Betapa kagetnya ia melihat seraut wajah yang selama ini dirindukannya.

”Ibu.....! Apakah ini benar Ibu?” Gandi berteriak sambil menghampiri wanita yang baru saja hadir di ruang tamu itu. Wanita itu pun berkaca-kaca dan berteriak, ” Gandi? Kaukah itu?” Ia berlari dan memeluk Gandi. Sambil menangis, ia berkata,” Ibu mencarimu dari Renokenongo sampai Jatiwates. Ibu juga mendatangi Pasar Porong, siapa tahu ada kamu di sana. Kata orang kamu sama pamanmu ke Jakarta, tapi ndak tahu alamatnya. Bagaimana ibu mau mencarimu? Dulu ibu menunggumu waktu kamu bilang mau ke Jakarta.”

Gandi melepaskan kerinduan pada ibunya. Setahun lebih rasanya seperti lama sekali. Kemudian ia menceritakan awal kedatangannya ke Jakarta. Ibunya mendengarkan sambil membelai rambut Gandi. Ia mengerti dan bersyukur karena pada akhirnya nasib mempertemukan mereka kembali dalam waktu yang tidak begitu lama.

Ketika Gandi dan ibunya asyik melepaskan rindu, tiba-tiba Mbak Dewi yang sedari tadi memperhatikan dua orang ibu dan anak itu, datang dengan membawa dua cangkir teh manis. Ia tersenyum dan menepuk pundak Gandi,” Bersyukurlah pada Allah dengan syukur yang banyak! Karena Ia tak membiarkan kesedihanmu berkepanjangan.” Gandi mengangguk, ia berkata,” Terima kasih Mbak Dewi! Mbak telah memberikan banyak hal pada saya, ilmu sekaligus kebahagiaan.” Mbak Dewi mengangguk pula, lalu,” Ini semua takdir! Mbak hanya menjalankan yang semestinya.” Lalu saat Gandi dan ibunya bersyukur dan mendoakan kebaikan bagi Mbak Dewi, dengan takzim Mbak Dewi mengamini. ***

Susanti

Email: susanti_uci@yahoo.co.id

Sajak-sajak Susanti SS

Sang Penghibur

Seulas senyum dalam balutan malam

Menghampiri setiap hati yang menahan rindu

Menunggu cinta atau melupakan cinta

Lambaiannya

Desah merdunya

Menghadirkan asa sesaat

Yang meletup-letup di sudut kalbu

Tak terucap kata risau meski hatinya galau

Tak terpancar wajah sayu meski hatinya layu

Ia juga rindu

Ia juga menunggu

Tapi siapa yang tahu?

Seulas senyum dengan suara merdu

Menyapa malam yang tak lagi syahdu

dan menghibur banyak hati yang ragu

Seulas senyum penghibur duka

Ada bersama setumpuk luka

Seulas senyum sang penghibur

Tanda lara tak lagi berasa

Batola, 18 Maret 09