Rabu, 10 Juni 2009

BUAH KERINDUAN

Gandi menggiggit bibirnya, sudah seharian ia berputar-putar di lampu merah, baru beberapa korannya yang terjual. Kadang terbetik juga keinginan untuk mengemis seperti teman-temannya. Hanya dengan modal menadahkan tangan, ia akan mendapatkan sejumlah uang yang lumayan untuk makan dan membeli baju. Tapi ia selalu ingat pesan Mbak Dewi, bahwa mengemis adalah pekerjaan yang hina di mata Allah. Ia lebih rela keletihan dan kelaparan daripada menghinakan diri. Biar keadaannya demikian, ia merasa lebih memiliki harga diri dan kehormatan.

Hidup di kota maupun di pelosok desa, bagi Gandi sama saja bila kita hanya menjadi orang miskin. Orang akan selalu meremehkan bahkan kadang menuduh kita pencuri. Sebagai orang miskin Gandi harus ikhlas. Tapi bukan Gandi namanya bila ia hanya berpangku tangan menghadapi kemiskinan keluarganya.

Sudah setahun ini ia terlunta-lunta di Jakarta. Mulanya ia berniat menyusul ibunya yang bekerja sebagai pembantu. Berangkat bersama pamannya dengan hati gembira Gandi tak menyangka kejadian buruk siap menerkamnya. Pertama setiba di terminal Pulo Gadung yang ramai, Gandi dan pamannya telah kehilangan tasnya. Saat pamannya hendak mengejar pencopet itu, justru pamannya tertabrak sebuah mobil. Untunglah sang penabrak orangnya baik, ia membiayai ongkos pengobatan pamannya dan memberi uang untuk ongkos pulang ke desa. Namun karena sudah berniat mencari ibunya, Gandi dan pamannya tak kembali ke kampung. Karena alamat ibunya hilang bersama tasnya, Gandi dan pamannya menuju tempat Kodir, teman pamannya yang telah lebih dahulu ke Jakarta.

Paman Gandi memang pernah kerja bersama Paman Kodir di Jakarta, namun karena Paman Gandi merasa tidak betah bekerja di kota ia kembali ke desa. Ia kembali ke Jakarta lagi karena mengantarkan Gandi untuk menemui ibunya. Selain itu, di desa mereka tinggal, rumah petak yang mereka tinggali, telah terendam lumpur dari sebuah perusahaan pengeboran minyak. Mereka kini tak punya tempat tinggal lagi. Bahkan beberapa saudaranya ada yang meninggal karena sakit dan ada yang dibawa ke rumah sakit jiwa. Jadilah, Gandi dan pamannya menumpang di tempat Paman Kodir, namun mereka tidak hanya berpangku tangan, paman mencari pekerjaan di proyek bangunan yang kebetulan sedang membutuhkan pekerja tambahan. Sementara itu, Gandi sangat beruntung karena bertemu dengan Bang Didit, agen koran tetangga Paman Kodir, Bang Didit menawari pekerjaan untuk menjajakan korannya, maka jadilah Gandi penjual koran. Ia biasa berjualan di pinggir jalan atau di lampu merah. Sepanjang hari pula ia selalu mengamati orang-orang yang lalu lalang di jalan, kadang terbersit dalam angannya, bahwa salah satu orang yang lalu-lalang itu adalah ibunya. Tapi ia selalu kecewa, karena ia tak melihat raut muka ibunya di antara mereka.

Meski kecewa karena usahanya belum ada hasilnya, Gandi mendapat pencerahan dan sedikit kebahagiaan ketika ia bertemu dengan Mbak Dewi di sebuah halte. Mbak Dewi adalah seorang relawan di sekolah kolong jembatan yang mengajari anak-anak jalanan berbagai macam pengetahuan, termasuk pengajaran agama, secara gratis. Mbak Dewi tersentuh melihat Gandi, karena menurutnya Gandi mengingatkanya pada seseorang. Dari Mbak Dewilah Gandi belajar tentang ilmu-ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan. Gandi sering terkagum-kagum dengan Mbak Dewi, selain pintar ia sangat cantik dan santun, penampilannya selalu tertutup oleh baju terusan panjang dan kerudung yang serasi. Gandi sering membayangkan seandainya ibunya berpenampilan seperti Mbak Dewi. Gandi sering tersenyum geli jika membayangkan hal itu. Bukankah ibunya hanya orang kampung yang berpendidikan rendah.

Setelah sekian lama ia berdiri di sekitar lampu merah, Gandi merasa bosan karena baru sedikit koran yang terjual, tidak seperti biasanya. Mungkin hari ini orang tidak banyak tertarik dengan berita karena tidak ada kejadian yang istimewa.

”Ah............,” Gandi mendesah perlahan. Karena kebosanan tersebut Gandi memutuskan berteduh di toko swalayan di seberang jalan. Dengan gesit ia menyeberang dan sebentar saja telah sampai di depan toko swalayan itu. Banyak kawan-kawannya sesama anak jalanan mangkal di sekitar tempat tersebut. Namun bukan itu yang menjadi perhatian Gandi. Di antara orang-orang yang lalu-lalang di depan toko swalayan tersebut, ia seperti melihat wajah ibunya, berjalan dengan seorang wanita cantik mirip Mbak Dewi. Tapi, sejak kapan ibunya berkerudung rapat seperti Mbak Dewi? Lalu siapa wanita yang mirip Mbak Dewi tersebut. Pikiran Gandi memutar, namun ia baru menyadari ketika kedua wanita itu berjalan menuju sebuah mobil. Gandi secepat kilat berpikir, barangkali itu ibunya. Lalu ia setengah berlari mendekati mobil yang hampir melaju. ”Ibu..........................!” Gandi setengah berteriak, namun deru mobil di sekitar toko swalayan itu menelan suaranya. Ia hanya terpana dan samar-samar ia mengingat nomor mobil itu B 2997 NK.

Gandi lalu berjalan dengan lesu menuju teman-temannya di pojok toko itu. Ia berusaha menenangkan hati. Mungkin ia sangat merindukan ibunya, sehingga bayangan orang lain terasa seperti ibunya. Tapi wanita yang seperti Mbak Dewi? Apakah itu saudara Mbak Dewi? Adakah suatu kebetulan jika ia melihat dua wanita yang mirip ibunya dan mirip Mbak Dewi? Kedua wanita itu memang sangat berkesan di hati Gandi? Tapi membayangkan mereka berjalan beriringan adalah pemandangan yang menyenangkan. Gandi tersenyum kecut memikirkan khayalannya sendiri.

Ternyata, hari itu Gandi tidak terlalu bernasib buruk. Ada beberapa koran yang terjual di depan toko swalayan tersebut. Ketika hari terik, Gandi memutuskan istirahat sejenak dan melakukan sembahyang lohor di masjid dekat toko tersebut. Setelah itu ia akan menuju terminal dan menjelang sore ke tempat Bang Didit untuk menyerahkan uang hasil penjualan koran hari itu dan sisa koran yang tidak terjual jika ada.

Namun menjelang tidur, Gandi masih memikirkan wanita berkerudung di depan toko swalayan itu. Ia masih berpikir, bagaimana seandainya wanita itu adalah ibunya? Tapi bagaimana ia tahu, wanita itu tinggal dimana. Mobil itu? Bagaimana ia menjumpai mobil itu lagi? Jakarta kan begitu luas dan begitu banyak mobil. Nomor mobil itu berapa ya, rasanya B 29..........NK. 29 .......... berapa ya? Gandi berpikir keras, tapi hanya itu yang bisa diingat, kemudian ia meraih kertas dan pensil dan menuliskan nomor yang diingatkan tersebut. Kemudian sedikit matanya berbinar, ia berpikir tentang sesuatu. Bagaimana kalau ia rajin menunggu di toko swalayan tersebut pada jam yang sama, siapa tahu kalau beruntung ia akan bertemu dengan kedua wanita itu lagi atau paling tidak salah satunya.

Akhirnya selama satu minggu ditunggu di toko swalayan itu, Gandi tak juga bertemu wanita itu. Ia hampir putus asa, tapi ia tetap memutuskan untuk menunggu di toko swalayan itu sampai ia bertemu wanita itu, atau paling tidak melihat mobil itu? Tiba-tiba matanya terperanjat melihat sebuah mobil membelok ke arah toko swalayan tersebut. Mobil itu bernomor B 2997 NK. Apakah mobil itu ya? Ia mengamati mobil tersebut, ia lebih terperanjat ketika melihat wanita yang keluar dari mobil tersebut. Mbak Dewi? Bagaimana mungkin? Sebelum ia sempat berpikir lama ia sudah dikagetkan dengan sapaan Mbak Dewi.

” Eh, Gandi! Assalamu’alaikum! Kamu lagi jualan koran di sini?” tanya Mbak Dewi sambil tersenyum.

” I...i....ya, Mbak,” jawab Gandi sambil terbata.

Mbak Dewi jadi heran, lalu setengah selidik ia bertanya,” Ei! Kamu kenapa? Sepertinya ada sesuatu yang membuatmu heran dan terkejut.”

”Memang betul, Mbak! ” jawab Gandi berterus terang. Lalu Mbak Dewi mengajak Gandi ke sebuah warung kecil di sebelah toko swalayan itu untuk mendengarkan cerita kegundahan Gandi tersebut. Gandi memulainya dari tujuan ia datang ke Jakarta dan kejadian yang menimpanya sampai ia melihat dua orang wanita yang mirip ibunya dan Mbak Dewi muncul di toko swalayan itu.

Mbak Dewi mendengar dengan seksama. Lalu setengah berpikir ia berkata,” Wanita yang mbak ya yang punya mobil ini Gandi. Namanya Mbak Sari, itu memang kakak Mbak Dewi, kalau wanita yang mirip ibunya itu apa Bik Ati ya? Siapa nama ibumu?”

Gandi berbinar, ” Nama ibu saya Sumiati, Mbak.” Mbak Dewi tersenyum, lalu,” Gandi, mungkin saja itu ibumu, pembantu kakakku memang namanya Bik Ati mungkin kependekan dari Sumiati. Mbak Dewi juga kurang tahu, untuk memastikan bagaimana kalau kamu ikut Mbak Dewi ke tempat kakak Mbak Dewi. Setuju?” Hati Gandi bersorak, ia merasa sudah dekat dengan ibunya. Lalu dengan girang ia menjawab,” Setuju, Mbak!” tetapi, kemudian Mbak Dewi berpikir, ” Iya tapi kamu tunggu dulu! Mbak Dewi mau belanja dulu, ya?” kata Mbak Dewi sambil tersenyum. Gandi mengangguk hormat dengan hati senang.

Setelah setengah jam menunggu Mbak Dewi belanja, Gandi kemudian meluncur dengan modil sedan B 2997 NK menuju rumah kakak Mbak Dewi. Gandi berdebar-debar, ia berdoa semoga orang yang berada di tempat kakak Mbak Dewi adalah ibunya. Jika hal itu benar................ia akan menjadi orang yang paling bahagia.

Setengah ragu, Gandi mengikuti Mbak Dewi menuju ruang tamu sebuah rumah besar yang sangat bersih dan rapi. Samar-samar terdengar suara bayi menangis. Mbak Dewi memandang Gandi,” Itu suara keponakan Mbak Dewi. Gandi! Kamu duduk dulu! Mbak panggilkan dulu Bik Ati, ya? Semoga Allah mempertemukan kamu dengan ibumu,” kata Mbak Dewi sambil berjalan menuju ke dalam ruangan rumah itu.

Gandi memandang sekeliling ruang tamu, ia melihat ruangan yang begitu bagus dan bersih, jauh sekali dengan ruang tamu di tempat Paman Kodir. Ia menjadi geli memikirkan hal itu, bagaimana mungkin rumah kumuh dibandingkan dengan rumah mewah. Saat Gandi asyik memandangi ruang tamu tersebut, pandangannya terhenti pada suara langkah kaki seseorang. Betapa kagetnya ia melihat seraut wajah yang selama ini dirindukannya.

”Ibu.....! Apakah ini benar Ibu?” Gandi berteriak sambil menghampiri wanita yang baru saja hadir di ruang tamu itu. Wanita itu pun berkaca-kaca dan berteriak, ” Gandi? Kaukah itu?” Ia berlari dan memeluk Gandi. Sambil menangis, ia berkata,” Ibu mencarimu dari Renokenongo sampai Jatiwates. Ibu juga mendatangi Pasar Porong, siapa tahu ada kamu di sana. Kata orang kamu sama pamanmu ke Jakarta, tapi ndak tahu alamatnya. Bagaimana ibu mau mencarimu? Dulu ibu menunggumu waktu kamu bilang mau ke Jakarta.”

Gandi melepaskan kerinduan pada ibunya. Setahun lebih rasanya seperti lama sekali. Kemudian ia menceritakan awal kedatangannya ke Jakarta. Ibunya mendengarkan sambil membelai rambut Gandi. Ia mengerti dan bersyukur karena pada akhirnya nasib mempertemukan mereka kembali dalam waktu yang tidak begitu lama.

Ketika Gandi dan ibunya asyik melepaskan rindu, tiba-tiba Mbak Dewi yang sedari tadi memperhatikan dua orang ibu dan anak itu, datang dengan membawa dua cangkir teh manis. Ia tersenyum dan menepuk pundak Gandi,” Bersyukurlah pada Allah dengan syukur yang banyak! Karena Ia tak membiarkan kesedihanmu berkepanjangan.” Gandi mengangguk, ia berkata,” Terima kasih Mbak Dewi! Mbak telah memberikan banyak hal pada saya, ilmu sekaligus kebahagiaan.” Mbak Dewi mengangguk pula, lalu,” Ini semua takdir! Mbak hanya menjalankan yang semestinya.” Lalu saat Gandi dan ibunya bersyukur dan mendoakan kebaikan bagi Mbak Dewi, dengan takzim Mbak Dewi mengamini. ***

Susanti

Email: susanti_uci@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar