Senin, 20 Agustus 2018

PEMBELAJARAN CERITA PENDEK

PEMBELAJARAN CERPEN


A. Membuat Kerangka Cerpen
Nilai moral      : berbakti pada orang tua, rendah hati
Tema               : Menghindari kesombongan setelah sering menjuarai berbagai lomba
Sudut pandang            : Orang ketiga serbatahu
Tokoh              : Kak Musa, Dek Kia, Bunda
Penokohan      : Kak Musa      = baik, pintar, sabar
                          Dek Kia         = pintar, ceria, usil
                          Bunda           = sabar, bijak
B. Membuat Alur/ Struktur  :
1.      Pengenalan
Dek Kia memberi selamat pada kakaknya yang baru saja menjuarai lomba olimpiade matematika dan mengatakan ia akan semakin disenangi teman-teman di sekolah. Kak Musa cuma tersenyum dan mengucapkan alhamdulillah.
2.      Pemunculan masalah
Bunda juga memberi selamat pada Kak Musa namun Bunda melarang Kak Musa untuk mengikuti lomba lagi.
3.      Konflik
Kak Musa diminta mengikuti lomba lagi oleh gurunya namun Bunda meminta untuk tidak ikut lomba tersebut.
4.      Klimaks
Kak Musa bingung menentukan pilihan, namun kemudian dia lebih memilih mengikuti nasihat Bunda.
5.      Antiklimaks
Guru Kak Musa membujuk Kak Musa lagi mengikuti lomba dan berjanji akan menepis segala kebanggaan dan kesombongan.
6.      Penyelesaian
Kak Musa akhirnya memutuskan akan mengikuti lomba.

 C. Mengembangkan Kerangka
SANG JUARA

Di sebuah rumah minimalis berwarna putih, saat hujan senja mulai turun di pinggir kota Jogja. Suasana hangat dan bersahaja tergambar dalam keakraban sebuah keluarga.
“ Kakakku sayang, selamat ya sudah juara olimpiade Fisika tingkat nasional, bentar lagi dikirim ke tingkat internasional dong!” seru Kia pada kakaknya yang sedang asyik membaca buku. Musa tersenyum sambil memandang adiknya yang selalu ceria, ia berkata,” Alhamdulillah.”
Musa sebenarnya remaja yang pintar, ia tak banyak bergurau meski kadang celetukannya bisa membuat orang tertawa. Soal sabar ia bisa diandalkan sebagai anak sulung. Pada satu masa, pernah ia membuat layang-layang yang akan dijual ke teman-teman SD-nya, namun adik bungsunya Isa yang masih balita mengacak-acak layangan buatannya sehingga rusak semua. Ia tak marah, cuma mengatakan, “ Ah....dek Isa!” lalu ia pun merapikan layang-layang yang sudah tak berbentuk itu.
“ Kak! Kok kelihatan kurang senang gitu?” ujar Kia sambil terus memperhatikan kakaknya,” Boleh kutebak, kakak takut ya makin didolakan temin-temin di sekolah?”
“ Heh, apa itu temin-temin?” tanya Musa keheranan.
Kia tertawa, lalu katanya,” Teman-teman kalau cowok, kalau cewek jadinya temin-temin.”
“Kamu, ada-ada saja, Kia!” kata Musa sambil berlalu. Ia lebih suka menghabiskan waktunya untuk membaca kitab suci dan belajar.
Soal juara, Bunda sudah mewanti-wanti agar ia betul-betul menjaga hati. Bangga sangat dekat dengan kesombongan. Bunda tidak ingin anak kesayangannya menjadi orang sombong karena terbuai oleh pujian dan pandangan kekaguman orang di sekelilingnya. Bunda Musa bukanlah bunda biasa. Ia terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan tantangan untuk memberi manfaat dan ilmu pada orang-orang menimba ilmu padanya. Memang Bunda Musa seorang guru, guru bagi anak-anaknya, guru bagi murid-muridnya yang setiap minggu datang ke rumah mereka. Murid-murid Bunda Musa kebanyakan mahasiswa dan ibu-ibu muda. Mereka datang untuk menimba ilmu agama, ilmu kehidupan.
“ Alhamdulillah kakak juara lagi! Jangan lupa bersyukur ya kak!” seru Bunda dengan suara lembut.
“ Iya, Bun,” jawab Kak Musa pendek. Ia sudah memahami apa maksud Bunda.
Musa memang juara satu tingkat nasional dalam olimpiade Fisika dan ia seharusnya mengikuti lomba untuk tingkat internasional. Pihak sekolah dan gurunya telah mempersiapkan untuk hal itu, termasuk mengundang dosen Fisika dari universitas favorit di kotanya. Namun pada suatu malam, saat ia tengah sibuk belajar, Bundanya datang dengan senyum bijaknya.
“ Bunda, ganggu?” tanya Bunda lembut.
“ Nggak, Bun,” jawab Musa takzim.
“ Anak Bunda tersayang, Bunda tahu kamu sedang sibuk mempersiapkan untuk lomba internasional. Namun ada sesuatu yang mengganjal di hati Bunda. Bunda tidak ingin engkau memiliki bibit kesombongan meskipun sebesar biji sawi. Kau bangga dengan semua pencapaianmu ini, Nak?” tanya Bunda sambil mengelus kepala Musa.
Musa mengangguk. Bunda menarik napas dalam-dalam.
“ Ini yang Bunda takutkan! Engkau bangga dengan kelebihanmu. Rasa banggamu dapat membimbingmu menuju kesombongan. Kau tahu darimana kaudapatkan semua kepandaiamu. Dari Allah semata. Lalu apa alasanmu untuk memiliki kebanggaan itu. Bersyukur itu bukan menengadah atau menepuk dada tetapi bersujud, menundukkan wajah ke bawah, ke tanah.” Bunda memandang lekat-lekat wajah Musa yang menunduk.
Bunda melanjutkan perkataannya,” Bunda tidak akan mengizinkan kamu ikut lomba lagi jika dalam hatimu masih ada kebanggaan yang membuatmu merasa sombong atas semua prestasimu.”
Musa masih terdiam kaku, bahkan ketika Bundanya keluar dari kamarnya. Hatinya galau belum berujung. Menang tanpa kebanggaan, kebanggaan tanpa menyisakan kesombongan, seperti beramal tanpa berkabar, uji keikhlasan diri, mampukah ia?
Pagi hari, Musa pergi ke sekolah seperti biasa. Hari itu, ia dipanggil gurunya untuk menanyakan kesiapannya mengikuti lomba internasional itu. Ia masih sangat memikirkan perkataan Bunda tadi malam.
“ Musa, bagaimana persiapanmu untuk lomba? Nanti sore kamu ada pelajaran tambahan dari Pak Hasan,” kata Bu Tika.
“ Ibu, bagaimana kalau saya mengundurkan diri?” ucap Musa perlahan.
Ibu guru langsung kaget. Lalu kata Bu Tika,” Bagaimana bisa Musa, ini berhubungan dengan kredibilitas sekolah kita, kemasyhuran sekolah. Kita harus mempertahankan sebagai sekolah favorit di daerah kita. Sekolah kita bisa diblacklist karena hal ini. Ada masalah denganmu?”
Musa terdiam. Teringat Bunda, apakah ia ingin namanya masyhur di dunia atau di akhirat? Beragam rasa dan pikir berkecamuk dalam benaknya. Ini tentang iman, tentang segala puji bagi Allah, ini tentang kepentinganku sendiri atau tentang kepentingan orang banyak.
“ Musa?” Ibu guru menyadarkan keterdiamannya.
“ Maaf, Bu. Saya akan berusaha memikirkan untuk tidak mengecewakan Ibu dan sekolah.”
“ Apa kau ada masalah, Musa?” tanya Ibu guru lembut.
“ Iya, Bu. Namun, saya akan menyelesaikannya. Kalau saya sudah menyelesaikan nanti saya akan menghadap Ibu.
Ibu guru mengangguk dan Musa pamit pergi.
Dalam beberapa hari kemudian, Musa banyak di kamar setelah pulang sekolah. Ia banyak belajar dan berdoa, melenyapkan kesombongan, menundukkan pujian orang lain sebagai pengingat untuk rendah hati. Hati yang mudah kotor ini milik Allah dan tugasnya sebagai manusia untuk menjaganya selalu bersih.  
Musa menangis, kepasrahannya meruntuhkan hati bahwa setiap langkah yang ditempuhnya harus memberi manfaat pada orang lain. Bahkan kasih sayang yang merona di semua sudut hatinya seharusnya tak mengizinkan ia meremehkan orang lain sedikit pun, bahkan terhadap keinginan gurunya, sekolahnya. Ia pun akan merebahkan senyumnya serendah-rendahnya saat publikasi mengancam hatinya untuk berlaku riya’. Ia harus berdaya pada saat tak berdaya.
Ujung perenungan, Musa telah siap menghadapi harinya. Ia akan berusaha tidak mengecewakan Bundanya, mutiara hatinya. Namun, ia juga berusaha memenuhi tugas dari gurunya, satu dari kilau penerang hidupnya. Ia sungguh mengasihi mereka.
Pagi itu Musa menghadap gurunya. Ibu gurunya tersenyum, lalu katanya,” Bagaimana, Musa?” Musa mengangguk takzim sambil tersenyum pada gurunya.
“ Restui ananda, Bunda,” ujarnya dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar