Kamis, 11 Juni 2009

Demokrasi Tololversi Saridin dari Emha AN

Demokrasi Tolol versi Saridin

Saridin bukan tidak sadar dan bukan tanpa perhitungan kenapa dia milih nyantri ke pondoknya Sunan Kudus. Saridin itu tipe seorang murid yang cerdas dan mengerti apa yang dilakukannya.

Harap dimengerti murid itu bukan padanan kata dari siswa atau student, sebagaimana manusia zaman modern memaknainya secara total. Memang manusia dalam kebudayaan dan peradaban modern kerjanya selalu melawak, tapi mereka tidak pernah sadar bahwa mereka melawak. Mereka lucu, dan bahkan sangat lucu karena mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka lucu.

Coba lihat saja. Di dunia modern ada yang namanya universitas. Wah gagahnya bukan main lembaga pendidikan tertinggi ini. Penuh gengsi dan keangkuhan. Kalau sudah lulus darinya, orang disebut “sarjana”.

Padahal sesungguhnya Saridin membuktikan sendiri bahwa para pelaku lembaga pendidikan dunia modern universitas dengan pemahaman bahwa yang diproduksi adalah manusia universitas.

Padahal nanti para sarjana keluaran universitas itu kualitas dan cakrawala pandangnya tak lebih dari manusia fakultatif. Anak-anak didik yang usianya sudah dewasa ini tetap kanak-kanak sampai tua, karena sudah bertahun-tahun di universitas masih saja terbuntu di kualitas fakultatif atau bahkan jurusan.

Apa begitu itu namanya kata Saridin, kalau bukan ndagel.

Kalau remaja-remaja itu berangkat ke universitas, ngakunya pergi kuliah. Istilah itu dari bahasa Arab: kulliyah, artinya suatu keberangkatan intelektual, mental, spiritual, dan moral menuju taraf kosmopolitanisme.

Segi lawakannya menurut Saridin terletak pada kenyataan bahwa sebenarnya mereka bukan berangkat kuliah, melainkan berangkat juz’iyyah. Ya yang diterangkan di atas tadi: juz’iyyah itu artinya memahami sesuatu secara sektoral, secara fakultatif, dan parsial.

Seandainya mereka bukan pelawak, tentu setiap keberangkatan juz’iyyah akan selalu pada akhirnya dioreintasikan atau dikembalikan lagi ke spectrum kulliyah atau menjadi habitat utama budaya pendidikan manusia modern, maka hasilnya adalah kesempitan.

Umumnya kalau mereka disodori pakaian oleh Saridin dan ditanyakan pada mereka, “Apa ini?” Celana. “Ini cawat”, atau “Ini dasi”.

Mereka tidak pernah menjawab, “Ini kain, ini benang,” Ini kapas,” “Ini serat-serat,” atau mungkin “Ini kerjasama antara alam ciptaan Tuhan dan teknologi.” Pendeknya pada kesimpulan Saridin, jangkauan ilmu mereka atau dangkalnya ilmu pengetahuan mereka hanya bias diterangkan melalui ndagel.

Kalau pembicaraan kita sampai pada soal “dasi” atau “sepatu”, yang merupakan cirri terpenting dari eksistensi manusia modern, lebih terasa lagi lawakannya. Kalau sudah mengingat itu, Saridin tersengguk-sengguk karena tawa dan tangisnya menjadi satu keluar dari mulut dan matanya. Dasi itu menurut pemahaman Saridin adalah benda yang benar-benar tidak bias dipahami apa kegunaannya, kecuali untuk bersiap-siap kalau sewaktu-waktu pemakainya ingin kendat atau bunuh diri dengan cara menggantung diri atau menjerat leher.

Kebudayaan manusia modern selalu menjelaskan dasi dalam konteks sopan santun, kepribadian kelas menengah, dan lain sebagainya. Itu semua pada penglihatan Saridin benar-benar abstrak. Bagaimana mungkin kepribadian dikaitkan apalagi ditentukan oleh seutas kain yang dikaitkan mengelilingi leher. Benar-benar sangat lucu. Saridin khawatir, Tuhan sendiri bias geleng-geleng kepala karena kelucuan dasi itu tingkatannya benar-benar rendah. Kepribadian itu masalah software, soal batin, mutu nilai yang rohaniah sifatnya. Kok dilawakkan melalui seutas tali dasi. Alangkah tidak bermutunya lawakan manusia modern.

Apalagi masalah sepatu. “Pakailah sepatu!” kata Saridin menirukan seseorang yang pernah di dengarnya di abad 20. “ Agar kakimu terlindung dari duri dan kerikil di jalan.” Padahal para pemakai sepatu justru cenderung menolak untuk berjalan di jalanan. Mereka justru lebih sering melangkahkan kaki di lantai yang pakai karpet tebal dan empuk. Lantas seseorang itu melanjutkan – “tapi sebelum pakai sepatu, pakailah dulu kaus kaki, untuk melindungi kakimu dari sepatu, agar tidak mlicet. Disinilah, menurut studi Saridin, puncak lawakanya. Orang yang disuruh pakai sepatu dan kaus kaki pasti kebingungan. “Jadi sebenarnya, sepatu ini melindungi kaki atau mengancam kaki, sehingga kaki harus dilapisi dengan kaus kaki?”

Oleh karena itu, sejak abad 16 Saridin sudah sadar untuk tak diranjau oleh kebodohan yang canggih atau kepandaian yang ndagel versi kebudayaan modern. Maka ia mateg aji menjadi murid. Murid itu kata subyek yang berasal dari kata kerja arada, yuridu, muridan. Artinya seseorang yang berkehendak. Ingat kata iradat Tuhan? Artinya kehendak Tuhan. Saridin menjadi muridnya Sunan Kudus karena ia sendiri yang berkehendak untuk itu. Juga ia sendiri yang berkehendak, atau menjadi subjek yang menghendaki segala macam yang menyangkut ilmu dan pengalaman hidup yang akan didalaminya dari Sang Sunan. Dengan kata lain, sesungguhnya Saridin sendiri yang menyusun kurikulum kesantiannya. Itu namanya murid. Kalau seseorang dating ke pesantren atau sekolah lantas pasrah bongkokan dan mulutnya menganga melulu menunggu apa saja terapan kurikulum yang disediakan itu, itu namanya murad. Artinya orang yang dikehendaki.

Memang pesantrenya Sunan Kudus sudah memiliki kurikulum, system pendidikan dan metode pengajaran tersendiri. Tetapi itu sekedar bahan dan masukan bagi Saridin. Tetapi si Saridin sendiri yang kemudian mengatur dan menguasai kurikulum itu di dalam dirinya sendiri.

Jadi pada hakekatnya pesantren Saridin terletak di dalam otaknya Saridin. Sekolah Saridin berdiri di dalam hitungan akal sehat Saridin sendiri. Universitas Saridin berlangsung di dalam metode dan proses belajar atau kaifiyah intelektual-spiritual Saridin sendiri. Itu sebabnya ia sungguh-sungguh seorang murid.

Menurut pandangan Saridin, sikap menjadi murid adalah perwujudan demokrasi pendidikan. Kalau ia hanya murad, ia menyediakan diri untuk ditindas. Padahal Saridin tahu, dalam Islam, orang dilarang menindas, dan lebih dilarang lagi untuk bersedia ditindas. Tapi jangan lupa, pengetahuan tentang demokrasi itu pasti Saridin ambil dari dunia modern juga. Jadi jangan seratus persen percaya kalau Saridin sendiri begitu mbagusi ketika mentertawakan dunia modern. Sebab sesungguhnya ia juga banyak belajar kepada segala sesuatu mengenai modernitas dan modernisme.

Bahkan ada bulan-bulan dimana ia salah menerapkan prinsip demokrasi ketika mengikuti pengajaran dan pendidikan yang diselenggarakan oleh Sunan Kudus. Ketika Sang Sunan meminta Saridin membuktikan hapalan Qur’aannya, satu juz saja, di depan para santri lainnya – dengan mantap ia menjawab,” Sunan, adalah hak asazi saya ujntuk memilih apakah saya perlu menghapalkan Qur’an atau tidak.”

Demokrasi, bagi Saridin ketika itu, bertitik berat pada prinsip hak asazi manusia. Ketika ia diminta mempraktekkan jurus jalan panjang ketika dilatih silat, Saridin juga menjawab,” Saya sendirilah yang berwenang untuk mempraktekkan atau tidak mempraktekkan jurus itu sekarang. Tidak seorangpun bias memaksa saya.” Tapi belum selesai kalimatnya, Sunan Kudus mendadak menghampirinya dan menyerbunya dengan berbagai jurus. Saridin kepontak-pontak, pontang-panting, terjatuh-jatuh, terluka, keseleo.

“Kalau kamu tidak sanggup jadi pendekar, jangan bersembunyi di balik kata demokrasi!” kata Sunan Kudus sambil mencengkeram leher Saridin yang terengah-engah.

1 komentar:

  1. Live Casino Casinos - Play and Win Real Money!
    Top online 잭팟시티 casinos give you a chance to play the best casino 도박장 구인 games and 인싸 포커 win real 샤오 미 먹튀 money in the US. Sign 모바일바카라 up today and play!

    BalasHapus